Masih ada disparitas tinggi antara desa dan kota. Di kota 7,72 persen, tapi di desa 13,93 persen, hampir dua kali lipat
Jakarta (ANTARA News) - Persentase penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017 mencapai 10,64 persen atau turun tipis 0,06 persen dari persentase September 2016 pada 10,7 persen.

"Penurunan prosentase penduduk miskin tersebut relatif lambat dibandingkan periode-periode sebelumnya," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Senin.

Secara kuantitas, penduduk miskin per Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang, sedangkan pada September 2016 mencapai 27,76 juta orang.

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2016 sebesar 7,73 persen, turun menjadi 7,72 persen pada Maret 2017, sedangkan persentase penduduk miskin di perdesaan pada September 2016 sebesar 13,96 persen, turun menjadi 13,93 persen pada Maret 2017.

Selama periode September 2016-Maret 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik 188,19 ribu orang dari 10,49 juta orang pada September 2016, menjadi 10,67 juta orang. Sementara, di perdesaan turun 181,29 ribu orang dari 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang.

"Masih ada disparitas tinggi antara desa dan kota. Di kota 7,72 persen, tapi di desa 13,93 persen, hampir dua kali lipat. Ini menunjukkan persoalan kemiskinan itu ada di pedesaan," ujar Suhariyanto.

Peran komoditas makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap garis kemiskinan pada Maret 2017 mencapai 73,31 persen, berbeda dari kondisi September 2016 sebesar 73,19 persen.

Jenis komoditas makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan dan pedesaan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, kopi bubuk dan kopi instan, dan bawang merah. Sementara itu, untuk komoditasbukan makanan yang besar pengaruhnya adalah biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, angkutan, kesehatan, dan perlengkapan mandi.

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar di mana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan dan bukan makanan).

Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan atau setara 2.100 kalori per kapita per hari. Garis kemiskinan bukan makanan adalah nilai minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok non makanan lainnya.

Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Metode ini dipakai BPS sejak 1998 supaya hasil penghitungan konsisten dan terbanding dari waktu ke waktu.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017