Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mendukung penggunaan acuan harga minyak mentah "dated Brent" ditambah alpha dalam penetapan formula harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP).

"Penggunaan acuan dated Brent plus alpha ini diharapkan mampu mendongkrak penerimaan negara dalam APBN secara signifikan. Produksi minyak mentah dalam negeri bisa meningkat di tahun-tahun mendatang," katanya saat diskusi yang digelar Kementerian ESDM di Jakarta, Senin.

Hadir dalam kesempatan tersebut antara lain Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja, perwakilan SKK Migas Arwan, dan Calvin Lee dari Platts.

Saat ini, pemerintah masih mengevaluasi formula ICP seiring habisnya masa berlaku Kepmen ESDM No 6171 K/2/MEM/2016 tentang Penetapan Formula Harga Minyak Mentah Indonesia Periode Juli 2016-Juni 2017.

Formula ICP itu terdiri dari "dated Brent" ditambah alpha yang dihitung dengan mempertimbangkan kesesuaian kualitas minyak mentah, perkembangan harga minyak mentah internasional, dan ketahanan energi nasional.

Alpha ditetapkan setiap bulan oleh Menteri ESDM.

Menurut Satya, Brent sudah menjadi dasar dalam pembentukan harga minyak di internasional sejak 1971.

"Lebih dari 70 persen seluruh produksi minyak di dunia telah menggunakan Brent ini sebagai acuan formula harga minyak terutama di negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Iran, Irak, bahkan Malaysia memberlakukannya sejak 2011," ujar politisi Partai Golkar dari Dapil Jatim IX mencakup Bojonegoro dan Tuban.

Oleh karena itu, ia optimistis opsi penggunaan "dated Brent" oleh pemerintah bisa lebih akurat untuk mencerminkan harga sebenarnya setiap semester.

Satya yang juga Ketua DPP Partai Golkar Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup tersebut menambahkan formula ICP harus memenuhi empat prinsip utama yakni jelas, objektif dan tranparan (fairness and transparency), dapat bersaing dengan harga minyak mentah dari kawasan atau negara lain (international competitiveness), formula relatif stabil dan ICP yang dihasilkan dari formula tidak berfluktuatif (stability) dan diberlakukan dalam periode yang cukup panjang (continuity).

Menurut dia, penyesuaian formulasi harga ICP harus dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara, merefleksikan perkembangan pasar, dan menjamin kelancaran operasional kegiatan migas nasional.

"Akurasi patokan ICP sangat krusial sebagai variabel asumsi dasar ekonomi makro APBN kita. Bisa berdampak mengurangi defisit atau menambah surplus dalam struktur penerimaan APBN," kata Satya.

(T.K007/S027)

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017