Paris (ANTARA News) - Human Rights Watch (HRW), Rabu, mendesak pemerintah Prancis mengakhiri yang digambarkannya sebagai kekerasan polisi terhadap pendatang di kota utara, Calais, tempat ratusan orang kembali meskipun tempat pengungsian luas itu, yang dikenal sebagai "hutan", sudah dibongkar.

Dalam laporan berjudul "Like Living in Hell", kelompok hak asasi manusia itu mengatakan bahwa polisi "secara tetap" menganiaya pendatang dengan harapan mereka meninggalkan kota pesisir tersebut.

Berdasarkan atas wawancara dengan sekitar 60 pendatang di daerah tersebut, HRW mengatakan bahwa polisi menggunakan semprotan merica pada pengungsi anak-anak dan orang dewasa saat mereka tidur, menyiram atau menyita kantong tidur dan pakaian, dan kadang-kadang menghancurkan makanan dan air.

Pejabat di kementerian dalam negeri dan pemerintah daerah tidak dapat dihubungi untuk memberikan tanggapan.

"Tindakan semacam itu melanggar larangan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat serta standar internasional mengenai tindakan polisi," kata HRW.

"Otoritas lokal dan nasional harus segera dan tegas mengarahkan polisi untuk mematuhi standar internasional mengenai penggunaan kekerasan dan untuk menahan diri dari tindakan yang mengganggu pemberian bantuan," katanya.

Badan bantuan dan pejabat pemerintah memperkirakan ada 600 migran, melarikan diri dari perang dan kemiskinan, di wilayah pelabuhan utara, di mana sebuah kota kumuh yang luas dibongkar oleh pihak berwenang Oktober lalu.

Tertarik oleh bahasa Inggris dan, dalam beberapa kasus, oleh keluarga dan teman-teman, mereka berharap bisa sampai di Inggris secara tidak sah.

"Sejak mereka menghancurkan kamp Calais tahun lalu, tidak ada tempat untuk tidur atau makan. Ini seperti tinggal di neraka," kata HRW mengutip seorang warga Ethiopia berusia 29 tahun.

Tuduhan kesalahan polisi menggemakan apa yang perwakilan migran dan perwakilan asosiasi lainnya katakan kepada Reuters bulan lalu. Prefek regional dan seorang pejabat polisi pada kesempatan itu secara formal membantah melakukan kesalahan.

Pengadilan setempat pada bulan Juni memerintahkan pihak berwenang untuk menyediakan air minum, toilet dan kamar mandi untuk para migran dan mengizinkan badan amal untuk membagikan makanan. Tapi pada saat yang sama menguatkan keputusan pemerintah untuk mengerahkan polisi anti huru hara dan tidak membangun pusat penerimaan baru.

Presiden baru Emmanuel Macron bulan lalu berjanji bahwa para migran akan diperlakukan secara manusiawi setelah badan pengawas hak asasi manusia Prancis sangat kritis terhadap kondisi kehidupan yang mereka jalani.

Polisi Prancis awal bulan ini, mengusir ribuan migran -- sebagian besar melarikan diri dari perang atau bentrokan di negara-negara seperti Sudan, Eritrea, dan Afghanistan -- yang tinggal di trotoar di daerah utara Paris.

Puluhan polisi dan kendaraan polisi datang sekitar pukul 05.00 untuk membersihkan daerah itu dari pendatang, yang jumlahnya menurut pejabat Balai Kota Paris Dominique Versini membengkak menjadi antara 2.000 hingga 2.500 orang.  (Uu.G003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017