... Enggak menyangka...
Jakarta (ANTARA News) - Jay Subyakto, sutradara film dokumenter Banda, the Dark Forgotten Trail, yang menceritakan tentang sejarah Kepulauan Banda di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, dan rempah-rempah pala yang dimilikinya, tidak mengira filmnya akan mendapat penolakan.

"Enggak menyangka, saya buat film sejarah, edukasi, dilarang," kata Jay, saat dihubungi melalui telepon, di Jakarta, Selasa malam.

Jay melakukan riset pustaka maupun lapangan untuk membuat film ini, termasuk juga berdiskusi langsung dengan sejarawan Tanah Air maupun asing yang memahami Pulau Banda.

Ia mengaku sudah survei ke Banda sejak 2015, begitu juga dengan penulis naskah, Irfan Ramli, yang berada di sana selama dua bulan pada 2016 lalu.

Menurut Jay, yang baru kali ini menyutradarai film, tidak ada perubahan jadwal penayangan, Banda, the Dark Forgotten Trail, pada 3 Agustus mendatang, termasuk di Maluku.

Tetapi, ia menyerahkan sepenuhnya keputusan penayangan filmnya di daerah yang menolak film itu pada jaringan bioskop 21 Cineplex.

Keluarga besar Wandan Banda Eli-Elat dan anak cucu Mboyratan menuntut rencana pemutaran film dokumenter, Banda, the Dark Forgotten Trail, dibatalkan karena dapat menciptakan instabilitas di Maluku.

Mereka keberatan karena ada pernyataan terkait film itu yang dinilai tidak sesuai, yaitu bahwa orang Banda asli telah punah setelah genosida pada 1621.

(Baca: Warga tuntut pemutaran film Banda dibatalkan, Jay Subyakto diprotes)

LifeLike Pictures, selaku rumah produksi film Banda, the Dark Forgotten Trail, dalam keterangan tertulis menyampaikan mereka tidak mengatakan penduduk asli Banda punah karena genosida oleh VOC Belanda, dengan tokohnya, Jan Pieterzoon Coen. 

"Terkait dengan hal itu, kami dari tim film 'Banda' menegaskan sejak awal dan disebutkan dalam narasi di film, kami tidak pernah memberikan pernyataan bahwa suku Banda asli punah dari muka Bumi," demikian bunyi pernyataan dalam keterangan itu.

Tim film itu sudah mengetahui keberadaan kelompok masyarakat Banda Eli dan Elat sebelum dan sesudah 1621 serta sudah menelusuri keberadaan orang asli Banda hingga ke Kampung Bandan, Jakarta Utara.

"Fokus film adalah bukan mencari orang asli melainkan membicarakan apa yang tidak tersampaikan dalam sejarah mengenai Kepulauan Banda sebagai salah atu pusat atau episentrum pencarian rempah dan pala sebagai yang mula-mula endemik di sana".

Kemarin, di Ambon, keluarga besar Wandan yang merupakan kumpulan masyarakat Banda Elat-Ely dan anak cucu Mboyratan asal Kepulauan Banda mengaku telah meminta Jay Subyakto selaku sutradara film dokumenter Banda, the Dark Forgotten Trail untuk meminta maaf tetapi tidak digubris.

"Yang bersangkutan tidak meminta maaf lewat salah satu media online dan tidak menggubris usulan kami untuk membuat forum diskusi agar ada penjelasan mengenai film yang dinilai telah memutar-balikkan fakta sejarah masyarakat asli Banda," kata Ketua Dewan Pengurus Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Wandan, Kamaludin Rery, di Ambon, Senin.

Menurut dia, keluarga besar Wandan dan anak cucu Mboyratan di Jakarta sudah bertemu dengan Jay Subyakto selaku sutradara dan penulis naskah filmnya, M Irfan Ramly, untuk meluruskan kembali sejarah itu.

Karena berdasarkan faktanya, semua orang asli Banda tidak pernah dimusnahkan dalam perang genosida tahun 1621 tetapi banyak yang menyelamatkan diri ke Banda Elat dan Banda Ely, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Selain itu masih banyak orang asli Banda yang hijrah ke Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Haruku, serta Pulau Ambon yang umumnya menetap di Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe (Kota Ambon), termasuk ada yang pergi ke luar negeri.

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017