Jakarta (ANTARA News) - Pemutusan hubungan diplomatik Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain dengan Qatar yang resmi diumumkan pada Senin 5 Juni, 2017 merupakan langkah yang terbilang mencengangkan bagi dunia dan sekali lagi menunjukkan Timur Tengah mungkin merupakan kawasan paling bergejolak di muka bumi.

Setelah Perang Dunia I (1914-1918) berakhir, Timur Tengah justru memasuki episode perseteruan demi perseteruan menyusul kelemahan pemerintahan Islam di bawah ke-Khilafahan Utsmaniyah yang berpusat di Istanbul, Turki (699-1342 H/1299-1924 M) dalam mempertahankan pelaksanaan ideologi politik Islam dan wilayah kekuasaannya.

Semangat nasionalisme dan sekulerisme yang dipropagandakan oleh bangsa barat kepada masyarakat Muslim telah mengerat-eratkan jantung dunia Islam menjadi 17 bangsa yakni Bahrain, Mesir, Irak, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Oman, Palestina, Qatar, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Yaman.

Alih-alih menjadi sebuah entitas bangsa yang lebih kuat setelah lepas dari kepemimpinan ideologi Islam, kawasan yang meliputi tiga benua tersebut (Asia bagian barat, Afrika bagian utara dan Eropa bagian tenggara) kini justru tak pernah sepi dari pertumpahan darah.

Konflik

Berakhirnya Perang Dunia I pada 1918 telah mengubah wajah Timur Tengah karena sejak saat itu Inggris mengambil alih kendali atas wilayah Palestina dari Kesultanan Utsmaniyah hingga 1948 di bawah struktur British-mandate Palestine yang berarti Inggris memiliki wewenang untuk mengatur Palestina sebagai wilayah yang ditaklukkan.

Di bawah kekuasaan Inggris, wilayah Palestina mulai dicabik-cabik dan terus terjadi hingga pada November 1947 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merekomendasikan pemisahan wilayah mandat Palestina menjadi dua negara, masing-masing untuk bangsa Yahudi dan Arab, dan hal ini mengakibatkan munculnya penolakan keras dari negara-negara Arab.

Konflik Palestina akhirnya resmi pecah pada Mei 1948 ketika para pemimpin gerakan Zionis memproklamasikan negara Israel di atas tanah berdaulat Palestina, dan mengakhiri penguasaan pasukan Inggris di wilayah tersebut.

Saat penduduk Palestina berada dalam himpitan penjajah Israel, dunia Arab tersapu gelombang revolusi yang dikenal dengan Arab Spring. Dimulai di Tunisia pada Desember 2010, gerakan menumbangkan rezim tersebut memicu upaya massal serupa di Mesir, Libya, dan Suriah.

Pemberontakan yang dimulai dari akar rumput tersebut telah menumbangkan kekuasaan Ben Ali (1987-2011) di Tunisia, Husni Mubarak (1981-2011) di Mesir, dan Muammar Gaddafi (1969-2011) di Libya.

Walau perlawanan masif juga digencarkan oleh rakyat Suriah, rezim Bashar al-Assad masih menguasai negara yang lepas dari kekuasaan Perancis pada 17 April 1946 itu.

Konflik Suriah yang diawali dengan demonstrasi damai di Daraa, berakhir dengan penahanan dan penyiksaan atas 15 remaja laki-laki karena menulis grafiti yang mendukung Revolusi Arab Spring di tembok sekolah mereka.

Pada bulan Juli 2011, pembelot dari militer mengumumkan pembentukan Tentara Pembebasan Suriah (the Free Syrian Army), sebuah kelompok pemberontak yang bertujuan menggulingkan pemerintah dan konflik Suriah.

Konflik Suriah berkembang menjadi revolusi yang sangat kompleks, di mana di dalamnya ada perang saudara, perang proksi serta perang regional dan internasional yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Iran, dan terorisme dengan adanya kelompok ISIL (The Islamic State of Iraq and the Levant).

Ruwetnya konflik di Suriah dengan banyaknya kepentingan dari rezim Assad dan negara-negara pendukung perang memastikan jalan perdamaian bagi masyarakat Suriah masih sulit tercapai, sehingga menjadikan tragedi kemanusiaan di negeri ini tampak jauh dari perdamaian.

Sementara itu, walau bukan akibat dari Musim Semi Arab(Arab Spring), Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir mengumumkan pemutusan hubungan dengan Qatar pada 5 Juni 2017, sehingga melahirkan perseteruan baru di wilayah Timur Tengah.

Keempat negara tersebut menyatakan khawatir akan risiko gangguan keamanan serta stabilitas nasional dan kawasan yang disebabkan oleh tuduhan mereka bahwa Qatar mendukung aksi terorisme dan mencampuri urusan dalam negeri negara-negara teluk yang tergabung dalam GCC (Gulf Cooperation Council), termasuk peran Qatar yang dituding mendukung Ikhwanul Muslimin.

Dinamika pergolakan

Sebagai negeri tempat diturunkannya tiga agama besar dunia, Yahudi, Nasrani, dan Islam, serta melimpahnya sumber energi fosil, Timur Tengah akan selalu menjadi magnet bagi seluruh masyarakat dunia dengan beragam motif dan agenda mereka.

Sesungguhnya kondisi tersebut menjadikan kawasan ini sangat rentan akan konflik, jika negara-negara tersebut tidak membangun satu persatuan yang hakiki dan menyerahkan urusan dalam negeri mereka diatur oleh bangsa asing yang sebenarnya hanya memikirkan agenda penjajahan politik dan ekonomi mereka tercapai.

Keruntuhan Utsmaniyah yang disusul dengan berdirinya negara-negara nasionalis hanya menjadi bulan madu para elit politik. Arab Spring menunjukkan bahwa kemewahan politik demokrasi menyimpan api pergerakan arus bawah dalam sekam nasionalisme yang setiap saat dapat tersulut dan meledak menjadi revolusi.

Perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaan tampak nyata justru bukan di atas meja perundingan yang selama ini diwakili oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO/Palestinian Liberation Organization) di forum-forum internasional yang melibatkan banyak negara asing, melainkan gerakan intifada yang berasal dari rakyat Palestina bersenjatakan batu.

Pergerakan oleh rakyat juga mengawali revolusi di Suriah sebagai rentetan dari Arab Spring. Protes antipemerintah yang awalnya damai menyulut perlawanan yang lebih besar atas Bashar Al-Assad menyusul tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak keamanan pemerintah terhadap para pemrotes.

Situasi politik dalam negeri Suriah semakin pelik tatkala Amerika Serikat dan Rusia turut campur dalam proses perundingan perdamaian antara pemerintah Assad dan kelompok yang disebut sebagai pemberontak.

Sementara itu, alasan pemboikotan Qatar tercermin dalam 13 tuntutan yang diajukan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir, di antaranya adalah pemutusan hubungan dengan Iran, menghentikan dukungan bagi Ikhwanul Muslimin, menutup Tv Al Jazeera, menutup semua pangkalan militer Turki di Qatar, dan penyerahan semua teroris yang ditunjuk di wilayahnya.

Qatar telah menepis semua tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa hal itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Namun demikian, pengucilan atas negara kecil seluas 11.571 kilometer persegi di Teluk Persia (Arab) tersebut masih berlangsung, walaupun Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negeri Rex Tillerson telah berupaya membujuk empat negara Arab untuk mengakhiri boikot Qatar.

Jalan buntu perdamaian

Perundingan damai untuk menyelesaikan konflik Palestina sudah dimulai sejak Resolusi 242 yang disahkan pada 22 November 1967 dan selanjutnya menjadi prinsip bagi rencana perdamaian berikutnya.

Namun, bukan hanya ketidakpatuhan Israel atas resolusi yang dikeluarkan oleh PBB dan ketidakadilan keputusan perundingan yang merugikan penduduk Palestina yang membuat perundingan damai selama ini tak kunjung mendamaikan peperangan di Palestina, tapi juga tindakan semena-mena Israel yang merangsek wilayah berdaulat Palestina dengan membangun permukiman ilegal dan menguasai sumber-sumber air bersih.

Kegagalan perundingan damai juga terjadi pada proses perundingan antara pemerintah Assad dan kelompok-kelompok perlawanan. Kerumitan proses ini semakin diperburuk dengan keterlibatan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Pada Agustus 2013, menyusul laporan mengenai penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah, pemerintah AS meluncurkan serangan udara terbatas terhadap pasukan Assad.

Sementara itu, krisis Qatar juga masih tampak suram. Negara-negara pemboikot tetap pada pendiriannya bahwa sikap politik Qatar yang (menurut mereka) mendukung terorisme dan bersahabat dengan Iran dapat mengancam keamanan dan kestabilan di kawasan.

AS sekali lagi berada dalam pusaran proses mendamaikan krisis Qatar karena masalah politik di wilayah ini dikhawatirkan berdampak pada operasi militer dan kontraterorisme mereka. Qatar menyediakan Pangkalan Udara Udeid sebagai fasilitas militer AS terbesar di Timur Tengah, tempat pesawat koalisi pimpinan AS melakukan penyerangan melawan ISIS di Suriah dan Irak.

Kepemimpinan

Ditimbang dari segi geo-sosio-kultural historis, konflik yang terjadi di tiga negara di kawasan Timur Tengah itu seharusnya dapat dengan mudah diselesaikan, bahkan sangat bisa dihindari karena sebelum peristiwa-peristiwa itu muncul di wilayah ini yang pernah bersatu dan hidup dalam kesejahteraan dan kemuliaan di bawah pemerintahan Khilafah Islamiyah yang menjalankan Syariat Islam, termasuk yang berkaitan dengan masalah muamalah pada lingkup masyarakat yang plural dan di tingkat negara.

Hal ini berarti, walau masyarakat di Timur Tengah terdiri atas beragam etnis dan kepercayaan, perbedaan tersebut dapat melebur dalam satu kesepakatan untuk setia pada pemimpin tertinggi Khalifah dan kerelaan hidup yang diatur dalam sistem kehidupan yang bersandar pada ajaran Islam.

Pada kerangka negara Khilafah, perselisihan yang muncul di tengah masyarakat atau ketidaksepahaman antara masyarakat dan penguasa diselesaikan dengan mekanisme persaksian, pembuktian, dan pengadilan Islam oleh pihak keamanan dan hakim yang bekerja dengan mengacu pada Al-Quran dan As-sunnah.

Salah satu kunci keberhasilan Khilafah Utsmaniyah sebagai peradaban yang paling berumur panjang di dunia adalah sistem kekuasaan dan kepimimpinan yang sangat terpusat dan tidak terbelah dalam tiga struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Namun, pelemahan ideologi Islam dalam negara Khilafah oleh tokoh-tokoh pergerakan nasionalisme di wilayah-wilayah Turki Utsmaniyah yang mendapat dukungan dana dan pasukan dari bangsa imperalis barat (terutama Inggris dan Prancis) dan serangan dari luar (terutama setelah Khilafah Utsmaniyah terlibat dalam Perang Dunia I) menjadi faktor yang mempercepat kejatuhan Khilafah Islam pada Maret 1924.

Ibarat sebuah vas porselin yang pecah berkeping-keping, demikian juga dengan bangunan negara Khilafah Islam yang runtuh dan menyisakan sekitar 40 negara yang, secara ideologi dan politik, tidak lebih kuat dibandingkan induknya terdahulu karena wilayah-wilayah ini sebenarnya adalah hasil pembagian bangsa barat imperialis yang sejak awal mencoba menguasai mereka.

Selain itu, karena negara-negara itu kini tidak menerapkan Islam sebagai ideologi pemerintahan (sekulerisme), pandangan-pandangan Islam seperti persaudaraan Muslim, persatuan Umat Islam, dan pentingnya memiliki pemimpin yang satu, dikalahkan oleh kepentingan nasional dan agenda bangsa asing.

Permasalahan yang kini dihadapi oleh negara-negara bangsa di seluruh dunia, diselesaikan dengan jalan perundingan dan negosiasi yang tidak dirancang dan didasari oleh ajaran Islam, walaupun mereka berpenduduk mayoritas Muslim.

Ketiadaan kepemimpinan Islam (Imamah) melemahkan kehidupan Umat Islam (secara generik), dan menciptakan banyak celah untuk munculnya perpecahan di dunia Islam, termasuk sulitnya mencapai perdamaian di antara pihak-pihak yang bertikai di kawasan Timur Tengah.

b/a011

(T.B005/B/A011/A011)

Oleh Bambang Purwanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017