Jakarta (ANTARA News) - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, berharap masyarakat tidak ragu untuk meminta perlindungan ketika menghadapi kasus-kasus kekerasan, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

"Kami sebenarnya juga menangani kasus KDRT. Dari segi jumlah, kita memang masih agak kesulitan. Kita bisa telusuri lagi dari institusi-institusi, termasuk dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum)," kata Semendawai, di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, LPSK tidak hanya memberikan perlindungan terhadap korban atau saksi kasus-kasus transnasional seperti teroris, narkoba, perdagangan orang, korupsi dan lain sebagainya. 

LPSK, berdasarkan tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya) juga memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Namun karena berbagai alasan, hingga kini belum ada cukup banyak masyarakat yang ajukan permohonan perlindungan.

Berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas Perempuan, kata dia, sudah banyak kasus KDRT. Tercatat pada tahun 2016, ada sekitar 10.205 kasus KDRT.

"Artinya, per hari rata-rata terjadi 30 kasus KDRT. Ini jumlah yang cukup besar. Dalam KDRT, ada kekerasan fisik, seksual, psikologi dalam lingkup rumah tangga," ucapnya.

Menurut Semendawai, rumah tangga memang menjadi tempat yang rawan terjadinya kekerasan karena bersifat tertutup dan dianggap ranah privat, sehingga sulit untuk masuk memberikan bantuan para korban.

"Masyarakat terkadang enggan memberikan bantuan kepada korban KDRT karena merupakan ranah privasi. Kecuali, kalau korban teriak meminta bantuan," katanya.


Penanganan KDRT

Selama tahun 2017 LPSK baru memberikan perlindungan KDRT sebanyak 20 orang. Seluruh korban KDRT telah diberikan pelayanan hak prosedural, yakni melakukan pendampingan saat diperiksa. Kepada korban KDRT, juga ada beberapa pelayanan yang diberikan seperti pemulihan medis dan psikologi, layanan psikososial yakni membantu pascaperistiwa.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani mengatakan, pemulihan terhadap korban kejahatan, termasuk KDRT sangat penting diperhatikan. Hal itu mengingat potensi trauma medis maupun psikis yang di alami korban cukup tinggi.

"Tindakan-tindakan tersebut tentunya akan menimbulkan trauma bagi korbannya, nah pemulihan kepada korban inilah yang perlu juga dipikirkan dalam suatu upaya peradilan pidana," kata Lies.

LPSK sendiri pada beberapa kasus KDRT, yang korbannya menjadi terlindung LPSK, memberikan layanan berupa perlindungan fisik, perlindungan hukum, pemenuhan hak prosedural, bantuan rehabilitasi medis-psikologis-psikososial, dan fasilitasi restitusi (ganti rugi).

Perlindungan sendiri penting agar korban tidak terancam baik secara fisik dan hukum terkait dengan keterangan yang diberikannya kepada penegak hukum. Sementara pemenuhan hak prosedural sendiri penting agar hak-hak korban saat menjalani proses peradilan pidana tetap terpenuhi.

"Perlindungan fisik, perlindungan hukum, dan pemenuhan hak prosedural penting agar korban merasa aman dan nyaman sehingga bisa membantu pengungkapan tindak pidana melalui keterangannya," jelas Lies.

Restitusi (ganti rugi dari pelaku) juga sangat perlu dikarenakan dengan adanya restitusi, korban setidaknya mendapatkan sejumlah materi untuk memulihkan kondisinya, misalnya sebagai penggantian biaya pengobatan, konsultasi psikologis, dan biaya-biaya lain yang disebabkan tindak pidana yang dialami korban.

Restitusi sendiri berdasarkan pasal 7A UU Perlindungan Saksi dan Korban diberikan berdasarkan putusan pengadilan. Artinya, penegakan hukum selain untuk menghukum pelaku, sebenamya bisa berperan dalam pemenuhan hak korban.

Sementara itu, Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial (Kemsos) Marzuki mengakui, rehabilitasi sosial terhadap korban KDRT memang sangat diperlukan untuk memulihkan kondisi normal para korban.

Kemsos sendiri melakukan proses rehabilitasi sosial terhadap korban melalui Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) dan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) yang ada dan tersebar di seluruh Indonesia.

"Kementerian Sosial sendiri sudah memiliki RPTC dan RPSA yang perlindungannya juga bekerja sama dengan kepolisian," kata Marzuki.

Pada tahun 2015 ada 492 kasus yang masuk rehabilitasi sosial melalui RPTC dan RPSA. Untuk tahun 2016 sebanyak 362 kasus dan untuk tahun 2017 ada 279 kasus. 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017