Terkait kasus Bakamla, kami akan jadwalkan ulang kepada Kepala Bakamla minggu depan untuk tersangka Nofel Hasan (NH)."
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksama Madya Arie Soedewo dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap proyek "satellite monitoring" di Bakamla RI Tahun Anggaran 2016.

"Terkait kasus Bakamla, kami akan jadwalkan ulang kepada Kepala Bakamla minggu depan untuk tersangka Nofel Hasan (NH)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Lebih lanjut, Febri menyatakan KPK terus mendalami aspek pengurusan anggaran pada proyek tersebut.

"Tentu kami akan melakukan apakah itu pemeriksaan atau pencarian informasi lain untuk memperjelas bagaimana proses pengurusan anggaran tersebut," kata Febri.

Ia menyatakan bahwa KPK telah melakukan pemeriksaan kepada sejumlah pihak termasuk anggota DPR RI untuk mendalami proses pengurusan anggaran tersebut.

"Karena memang pengurusan anggaran tentu ada beberapa pihak yang perlu kami dalami informasinya, baik dari pihak eksekutifnya itu sendiri ataupun pihak legislatifnya dalam hal ini DPR yang juga punya kewenangan anggaran," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Biro Perencanaan dan Organisiasi Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Nofel Hasan telah ditetapkan KPK sebagai tersangka terkait kasus itu pada 12 April 2017 lalu.

Nofel Hasan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Nofel Hasan disebut menerima 104.500 dolar Singapura terkait pengadaan "satellite monitoring" senilai total Rp222,43 miliar tersebut.

Dalam penyidikan kasus itu, Nofel telah mengembalikan uang sebesar 49 ribu dolar Singapura ke KPK.

Selain itu, terkait penyidikan Nofel Hasan, KPK juga telah mencegah dua orang untuk ke luar negeri untuk enam bulan ke depan sejak akhir Juni lalu, yakni anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi dan Managing Director PT ROHDE and SCHWARZ Indonesia Erwin S Arif.

Sebelumnya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (17/7), mantan Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi divonis empat tahun tiga bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subider dua bulan kurungan karena terbukti menerima suap sebesar 88.500 dolar AS (Rp1,2 miliar), 10 ribu euro (Rp141,3 juta) dan 100 ribu dolar Singapura (Rp980 juta) dengan nilai total sekitar Rp2,3 miliar dari Direktur PT Merial Esa dan pemilik PT PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah dalam pengadaan "satellite monitoring".

Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi dalam dakwaan disebut sebagai orang yang pertama mengenalkan Fahmi dalam pengadaan proyek "satelite monitoring". Ali adalah staf khusus kepala Bakamla Arie Soedewo, Ali yang juga politisi PDI-P itu menjadi narasumber bidang perencanaan anggaran dan bertemu Fahmi pada Maret 2016.

Pada saat itu, Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi untuk main proyek di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus memberikan "fee" sebesar 15 persen dari nilai pengadaan. Ali Fahmi lalu memberitahukan pengadaan "monitoring satellite" awalnya senilai Rp400 miliar dan Ali meminta uang muka 6 persen dari nilai anggaran tersebut.

Fahmi lalu memerintahkan dua anak buahnya sebagai marketing/ operasional PT Merial Esa Hardy Stefanus dan bagian operasional PT Merial Esa sekaligus orang kepercayaan Fahmi M Adami Okta untuk memberikan enam persen dari Rp400 miliar yaitu Rp24 miliar ke Ali Fahmi pada 1 Juli 2016 di hotel Ritz Carlton Kuningan sehingga PT Melati pun ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan "monitoring satellite" pada 8 September 2016 dengan anggaran total Rp222,43 miliar.


Berbagai Fraksi

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) juga disebutkan bahwa peruntukan uang sebesar enam persen dari nilai proyek satmon sebesar Rp400 miliar yang diberikan kepada Ali Fahmi alias Fahmi Al Habsy adalah untuk mengurus proyek melalui Balitbang PDI Perjuangan Eva Sundari, kemudian anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Bertus Merlas, anggota Komisi I DPR RI dari fraksi Partai Golkar Fayakun Andriadi, Bappenas dan Kementerian Keuangan.

Namun, keberadaan Ali Fahmi belum diketahui KPK sampai saat ini. Selain Ali Fahmi, Eko juga mengaku Kabakamla Arie Sudewo yang memerintahnya untuk menerima uang.

"Pak Arie saya hanya diperintah untuk menerima ini. Itu saja," tambah Eko singkat.

Eko juga mengaku akan menerima putusan tersebut.

"Akan saya jalani, semoga ini menjadi pelajaran buat saya supaya ke depannya lebih baik lagi. Saya tidak banding, saya terima," tambah Eko.

Pemberian uang dilakukan pada 14 November, Adami datang ke kantor Bakamla untuk menyerahkan uang sejumlah 10 ribu dolar AS dan 10 ribu dolar euro berikut kertas catatan kecil mengenai perincian pengeluaran uang sebagai bagian 7,5 persen jatah Bakamla, uang itu diterima sendiri oleh Eko.

Pemberian kedua dilakukan pada 14 Desember 2016 oleh Adami dan Hardy di kantor Eko. Pada pertemuan itu Eko menerima penyerahan uang dari Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus sebesar 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS dalam amplop cokelat tidak lama, petugas KPK melakukan penangkapan.

Meski Eko Susilo menerima vonis, jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.

Terkait perkara ini, Adami dan Hardy sudah divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan subsider enam bulan kurungan sedangkan Fahmi divonis dua tahun dan delapan bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan.

(Baca: KPK tahan Nofel Hasan dalam kasus "satellite monitoring")

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017