Nabire (ANTARA News) - Banjir yang belum juga surut sepanjang tiga bulan terakhir di pemukiman penduduk sekitar Danau Paniai, Papua, telah merusak tanaman dan ternak sehingga membuat lebih dari 12.000 orang terancam kelaparan, demikian keterangan sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat Kabupaten Paniai pada Selasa.

Selain itu, genangan air yang menutupi rawa, jalan, dan rumah-rumah sekitar danau juga menjadi potensi sumber berbagai macam penyakit seperti malaria tropika, ISPA atau gangguan saluran pernafasan anak, dan juga campak, kata sumber-sumber yang sama di ibu kota Paniai, Enarotali.

"Kami tidak bisa membantu para korban selain mendata. Kami tidak punya dana," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Paniai, Nahum Tebai, saat menerima bantuan beras, selimut, serta alat rumah tangga lainnya dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

"Para korban ini berasal dari dua ratusan desa yang tersebar di pinggir Danau Paniai," kata dia.


ANTARA News/GM Nur Lintang Muhammad

Sebagian masyarakat Paniai memang memilih untuk tinggal di bibir danau yang sudah terkenal menjadi objek wisata tersebut. Di tanah rendah itu mereka bercocok tanam ubi atau berternak sapi, dan menggantungkan sepenuhnya pasokan bahan makanan dari ladang tersebut.

Namun setiap kali musim hujan datang, ditambah sampah yang menyumbat gua yang berfungsi mengalirkan kelebihan air dari danau, selalu membuat air meluap menggenangi jalanan dan bangunan. Menurut pengakuan beberapa warga yang diwawancara oleh Antara di Enarotali, banjir tahun ini merupakan yang terbesar sepanjang ingatan mereka.

Letak Paniai yang masih relatif terpencil juga menyulitkan penyaluran bantuan dari luar daerah. Satu-satunya akses darat untuk ke kabupaten ini adalah dari daerah pesisir Nabire dengan jarak tempuh sekitar delapan jam. Selain itu, tidak ada angkutan umum yang menghubungkan keduanya--hanya ada mobil sewaan seharga 450.000 rupiah sekali jalan untuk satu orang.

Pilihan transportasi lain adalah melalui udara. Namun, satu-satunya pesawat komersial yang punya rute ke Paniai hanya beroperasi satu pekan sekali, sementara menyewa pesawat berkapasitas 15 orang bisa menghabiskan uang hampir 50 juta rupiah.

Akibatnya hingga saat ini, setelah tiga bulan air menggenang, BPBD setempat belum mendirikan satu pun tenda pengungsian untuk para korban yang terdampak banjir.

"Mereka pada umumnya mengungsi ke tempat saudara yang rumahnya lebih tinggi," kata Nahum.

Menurut pengakuan beberapa warga, mereka bisa menangani banjir tanpa bantuan pada tahun-tahun sebelumnya karena biasanya air sudah surut setelah satu bulan dan tidak merusak semua bahan pangan yang mereka tanam atau ternakkan.

Selain menghancurkan pasokan makanan, banjir di Paniai juga memaksa sejumlah sekolah memindahkan aktivitas belajar ke gereja-gereja, sementara puskesmas--yang menjadi andalan layanan kesehatan masyarakat sekitar--tutup.

"Tidak bapa. Ini banjir lebih parah," kata Eli, seorang perempuan korban banjir yang mengikuti acara penyerahan bantuan BKKBN di Enarotali, saat Antara menanyai perbandingan banjir tahun ini dengan tahun 2010 yang juga cukup parah.


ANTARA News/GM Nur Lintang Muhammad

Para korban saat ini sangat membutuhkan segera berupa beras dan obat-obatan.

Sementara itu Timus Pigai, ketua organisasi pemuda Tim Peduli Bencana, mengaku khawatir wabah yang akan datang jika banjir sudah surut. Para relawan yang dihimpunnya mengaku sudah berhasil mengumpulkan data-data kasar terkait penyakit yang diderita para korban.

"Hingga saat ini sudah ada lebih dari 1.000 anak yang mengalami gangguan pernafasan," kata Timus sambil menambahkan bahwa malaria tropika sudah menjangkiti 700 orang di kawasan penduduk dekat banjir,

"Mereka tidak bisa berobat ke rumah sakit karena terlalu jauh, sementara puskesmas terdekat kehabisan obat," kata dia.

Sementara itu Pokja Papua, sebuah lembaga sipil yang menghubungkan aspirasi warga Papua dan Papua Barat ke pemerintah pusat dan berkantor di Gedung Kementerian BUMN di Jakarta, mengatakan bahwa sudah saatnya memikirkan solusi jangka panjang untuk persoalan banjir tahunan di Paniai.

"Penyelesaian persoalan ini harus dimulai perencanaan tata ruang yang menyeluruh, dimulai dari zonasi lahan yang melibatkan para pakar," kata Ketua Dewan Pengurus Pokja Papua, Judith Dipodiputro, yang juga hadir di Enarotali bersama Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty.

Judith mengaku akan mencoba mengajak sejumlah pejabat kementerian terkait untuk melihat langsung kondisi di Paniai. Menurut dia, banjir tahunan ini memang sudah harus ditangani langsung oleh pemerintah pusat.

Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Timus dari Tim Peduli Bencana yang menilai bahwa banjir Paniai sudah harus ditetapkan sebagai bencana nasional karena jumlah korban terdampak yang besar serta ketidakmampuan pemerintah tingkat kabupaten untuk menanganinya.

"Ini memang sudah harus ditetapkan sebagai bencana nasional. BPBD sebagai otoritas pemerintah kabupaten yang menangani banjir sudah menyatakan diri tidak sanggup," kata Timus.

Sementara itu BKKBN sendiri memberikan bantuan kepada para korban sekaligus untuk mensosialisasikan program keluarga berencana yang masih menemui resistensi besar di kalangan masyarakat Papua--terutama dari mereka yang masih kukuh dengan kepercayaan adat bahwa banyaknya anak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan.

VIDEO:

Oleh GM Nur Lintang Muhammad
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017