Hong Kong (ANTARA News) - Kegagalan China, yang telah merintis timnya selama berbulan-bulan di bawah asuhan Marcello Lippi, di kualifikasi Piala Dunia 2018 pada Selasa (5/9) telah meninggalkan kebanggaan atas reputasinya secara mendalam, namun hal tersebut berhasil dipulihkan.

Bagi sebuah negara dengan ambisi untuk menjadi kekuatan utama dalam olahraga ini, ada hal positif yang harus dipetik sekaligus perasaan tentang apa yang mungkin terjadi saat perjuangan mereka berakhir dengan kemenangan 2-1 atas tuan rumah Piala Dunia 2022 Qatar.

Dalam pertandingan itu, anak asuhan Lippi tertinggal satu gol dan harus bermain dengan 10 orang. Tetapi mereka berhasil berjuang kembali meraih kemenangan berkat serangan yang dibangun Xiao Zhi dan Wu Lei. Namun China gagal untuk melaju ke babak play-off hanya dengan tertinggal satu poin.

Kemenangan tersebut merupakan yang ketiga dalam lima pertandingan dengan hanya kalah satu kali dari Iran di Teheran yang akhirnya menjadi juara grup.

"Sekarang, lihat kembali, kami pantas mendapat kemenangan dalam pertandingan melawan Qatar walau bagai harus memukul kayu sebanyak tiga kali dan menghadapi kiper mereka yang luar biasa," kata Lippi tentang hasil imbang 0-0 dengan tim Negara Teluk itu di Kunming pada bulan November yang merupakan debutnya sebagai pelatih China.

"Dan juga ada pertandingan imbang melawan Suriah di mana kami memimpin sampai menit terakhir. Kami kehilangan empat poin dalam dua pertandingan ini. Jika kami memilikinya, kami akan lolos sebagai runner-up di grup," ujarnya.

Hasil imbang dengan Suriah tersebut terjadi pada bulan Juni saat tendangan bebas Ahmad Al Salih di injury time memberi poin penting bagi tim asuhan Ayman Hakeem yang menempatkan mereka di posisi ketiga dalam grup dan berkesempatan menjalani laga play-off melawan Australia.

Pria Italia dapat menjelaskan bagaimana insiden dalam dua pertandingan itu secara spesifik menunjukan seberapa jauh dia membawa tim tersebut melaju daripada meratapi kegagalan menyeluruh tim nasional sepak bola China.

Sebelum kedatangan Lippi sebagai pengganti Gao Hongbo pada bulan November tahun lalu, tim nasional terlihat lesu.

Satu-satunya penampilan China Piala Dunia terjadi pada tahun 2002 dan sejak mencapai final Piala Asia 2004, negara tersebut dalam bahaya tergelincir ke dalam penyimpangan sepak bola.

Ledakan pengeluaran yang baru-baru ini dilakukan oleh klub-klub Liga Super China membuat olahraga ini kembali menonjol, namun tetap saja tim nasional mereka terus "lemas".

China nyaris mengamankan satu tempat di fase terakhir kualifikasi Asia untuk Piala Dunia yang pertama kali dicapai sejak 2002, namun dengan hanya satu poin dari empat pertandingan pembukaan mereka di bawah Gao, semua harapan kualifikasi hilang sebelum Lippi tiba.

Dengan sepuluh poin dari enam pertandingan selanjutnya, bagaimanapun, telah membuat penggemar China bertanya apa yang mungkin terjadi jika Lippi mengambil alih tim lebih awal, meski pelatih berusia 69 tahun itu tidak mempunyai waktu untuk melakukan hipotesis.

"Tidak ada bagaimana jika dalam sepak bola," katanya.

"Apa yang kita saksikan adalah perbaikan tim China, baik dalam kualitas dan poin. Anda bisa tahu dari pertandingan ini," ujar dia.

"Ketika saya mengambil alih, kami hampir tidak memiliki harapan untuk lolos sama sekali. Akan tetapi kami berjuang sampai akhir dan saya harap kami terus membaik sehingga kami dapat memperoleh hasil bagus di Piala Asia," tutur dia.

Piala Asia di Uni Emirat Arab pada awal 2019 akan menjadi ujian besar berikutnya bagi China dan mereka sepertinya akan bersikap positif mengenai harapan mereka bersama Lippi karena tetap menangani tim tersebut. Demikian laporan Reuters.

(Uu.R030/D011)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017