Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy melepas sebanyak 6.296 guru garis depan (GGD) ke daerah penempatannya di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).

"Hari ini, kami melepas sebanyak 6.296 GGD. Mereka akan mengajar di daerah 3T," ujar Mendikbud di Jakarta, Selasa.

Mendikbud dalam sambutannya mengatakan bahwa para guru GGD itu, layaknya pasukan khusus yang ada di militer. Mendikbud yakin para guru itu akan mampu bertahan di daerah 3T yang jauh dari kenyamanan.

Kuota awal dari GGD itu sebanyak 7.000 guru, namun yang lulus hanya 6.296. Sedangkan yang sudah menerima surat keputusan sebanyak 5.897 guru.

Para guru itu akan mengabdi di daerah penempatan minimal 10 tahun. Meski demikian, Mendikbud yakin para guru itu akan betah di daerah penempatan.

"Dugaan saya, malah guru-guru tidak akan pindah kok. Biasanya betah".

Ke depan, pihaknya akan mengevaluasi program GGD itu terutama masalah penempatan. Ada daerah yang minta sekian banyak guru, namun setelah diberi tidak mampu untuk menggaji. Kemudian dikembalikan ke Kemdikbud.

Selain GGD, program Kemdikbud lainnya yakni pembangunan gedung, sarana dan prasarana, tenaga kependidikan yang disesuai dengan kebutuhan pembelajaran.

Pelaksanan Tugas Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud, Hamid Muhammad, mengatakan pihaknya akan melakukan perubahan pola untuk GGD pada tahun depan.

"Sebenarnya tahun depan tetap kita usulkan, namun ada beberapa perubahan pola. Terutama dari beberapa daerah ada usulan agar guru yang memenuhi syarat dan mengabdi di daerah terpencil akan dimasukkan. Itu mungkin yang ada perubahan," kata Hamid.

Seorang guru GGD, Muhammad Azhar, mengatakan dirinya siap untuk mengabdi di daerah penempatan meskipun di kondisi yang serba kekurangan. Azhar ditempatkan di SMPN 1 Sawiyat, Sorong Selatan, Papua Barat.

"Di Papua, guru yang mengajar di desa hanya ada satu atau dua orang. Kalau di kota banyak. Sekolah sangat membutuhkan guru, makanya saya memilih penempatan Papua karena kasihan dengan anak-anak di sana," kata Azhar.

Azhar yang berasal dari Makassar itu menyadari bahwa di Sawiyat, ia akan hidup serba kekurangan. Di daerah itu belum ada listrik, tidak ada sinyal telepon seluler dan kekurangan air bersih.

"Tidak apa-apa, paling hanya satu hingga dua bulan tidak betahnya. Sesudah itu, menyesuaikan," cetus Azhar yakin.

Pewarta: Indriani
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017