Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 63 persen konsumen puas dengan kondisi pasar properti di Indonesia antara lain disebabkan sejumlah kebijakan serta kemudahan yang dikeluarkan pemerintah, demikian survei Rumah.com Property Affordability Sentiment Index 2017.

"Kebijakan yang dimaksud antara lain tingkat suku bunga yang rendah, keringanan pembayaran uang muka, dan skema pembiayaan yang mudah seperti melalui BPJS Ketenagakerjaan mendorong konsumen puas dengan kondisi properti di Indonesia," kata Head of Marketing Rumah.Com Ike Hamdan kepada pers di Jakarta, Selasa.

Hal tersebut disampaikan saat dirinya menyampaikan survei berkala yang diselenggarakan dua kali dalam setahun oleh Rumah.Com bekerjasama dengan lembaga riset Intuit Research, Singapura. Hasil survei dilakukan kepada 1.020 responden dari seluruh Indonesia selama Januari-Juni 2017.

Dikatakan Ike, melalui survei tersebut pihaknya bisa memberikan advokasi berkualitas bagi konsumen untuk mempertimbangkan keputusan memiliki rumah atau hunian lainnya.

Faktor lain yang ikut mendukung konsumen puas adalah makin gencarnya pembangunan infrastruktur di seumlah wilayah sehingga menyebabkan banyak perumahan memiliki akses yang mudah untuk bepergian.

Selain itu, katanya, ada beberapa faktor ekonomi yang menyebabkan sektor properti terus tumbuh, seperti program tax amnesty yang berjalan sesuai target, pertumbuhan ekonomi nasional 2017 yang diperkirakan 5,3 persen, serta produk domestik bruto (PDB) nasional yang terbesar se-Asia Tenggara.

Namun demikian, kata Ike, besarnya PDB Indonesia ternyata tidak sejalan dengan jumlah kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia, yaitu rasio PDB terhadap KPR Indonesia masih sangat minim yaitu 2,8 persen per tahun 2015.

"Angka itu jauh di bawah Singapura yang mencapai 45,9 persen, Malaysia 37,8 persen, Thailand 22,3 persen, dan Filipina 3,3 persen," katanya.

Dikatakan pula, konsumen juga ada yang menyatakan ketidakpuasan terhadap kondisi properti saat ini seperti adanya kenaikan harga properti yang terlalu cepat sehingga terlalu mahal dan tidak wajar.

Adanya kenaikan harga yang terlalu cepat, harga properti terlalu mahal dan tidak wajar melahirkan ekspetasi terhadap haga properti masa mendatang di Indonesia.

Dalam enam bulan ke depan, tambahnya, masyarakat Indonesia memperkirakan hunian berupa rumah tapak akan alami peningkatan harga tinggi dibanding hunian vertikal. "Survei juga mencatat sebanyak 97 persen masyarakat Indonesia cenderung memilih hunian di dalam perumahan klaster yang dikembangkan pengembang dari pada rumah non klaster atau pemukiman warga," katanya.

Lokasi yang diminati konsumen saat memilih properti terbanyak di Jakarta 36 persen, Bogor 22 persen, Tanggerang 21 persen, Depok 18 persen, dan Bekasi 17 persen.

Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017