Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) meminta Badan Kebijakan Fiskal (BKF)  dan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional (TPKN) agar bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang mencoba mempengaruhi keputusan dumping yang dikeluarkan Komisi Anti Dumping Indonesia (KADI).

Sekretaris Jenderal APSyFI, Redma Gita Wirawasta, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat menyatakan keheranannya mengapa keputusan dumping yang dikeluarkan KADI terhadap perusahaan asing yang melakukan praktek dagang curang kerap 'mentah' di PKN. Akibatnya, BKF tidak bisa mengeluarkan rincian bea dumping yang harus dibebankan ke perusahaan tersebut.

Redma menegaskan, membanjirnya produk impor di pasar Indonesia perlu juga diwaspadai dari praktek perdagangan curang atau dumping. Karena ternyata,  ada beberapa perusahaan luar negeri yang melakukan praktek curang atau dumping.

APSyFI sendiri mengalami kondisi itu.  Karenanya, asosiasi itu mendukung KADI untuk merekomendasikan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk impor dumping yang terbukti merugikan industri lokal.

"Industri asing yang melakukan perdagangan curang memang harus dikenakan BMAD. Jika hal ini dibiarkan, artinya kita menolelir praktik perdagangan curang yang dilakukan ekportir negara tertuduh di pasar domestik kita yang telah terbukti menekan kinerja perusahaan produsen sejenis," tegas Redma.

Kondisi ini pun akan berakibat pada keruntuhan seluruh industri di sektor ini hingga mengganggu supply-chain pada struktur industri tekstil (khususnya) secara keseluruhan.

Pihaknya sendiri sudah beberapa kali mengajukan petisi anti dumping kepada KADI, namun beberapa kali pula terganjal di Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional (TPKN)  serta di Kementerian Keuangan.

Ketika di KADI berdasarkan hasil penyelidikan dan investigasi, sudah menyatakan clear terbukti adanya praktek dumping yang merugikan industri dalam negeri, tetapi seringkali saat hasil ini diserahkan kepada TPKN keputusan rekomendasi itu pun dimentahkan.

"Biasanya karena pihak importir melakukan lobi kuat yang menyakinkan bahwa produk yang diimpor adalah produk khusus, sehingga pandangan TPKN pun goyah.  Hal ini memberikan kesan pemerintah membiarkan praktik perdagangan curang," ungkapnya.

Dia menjelaskan, praktek dumping biasanya dilakukan negara-negara produsen dengan kapasitas besar. Yang produksinya oversuply sangat besar atau suatu keadaan overstock. Produk-produk ini harus dapat terjual.

Untuk memastikan produk-produk ini dapat laku terjual, produsen dari negara-negara lain ya harus ‘banting harga’ hingga di bawah harga di dalam negeri. Ini artinya, produsen-produsen tersebut sudah melakukan praktik dumping. Adapun salah satu negara yang sering menjadi sasaran tuduhan dumping adalah RRT.

Jadi, lanjut Redma, barang-barang dari China di banyak negara kena anti dumping. PET (Polyethylene Terephthalate) China di Amerika, Eropa dan Jepang kena anti-dumping. PSF (serat poliester)  dan benang filament China di Turki, India dan Brazil kena anti dumping.

"Di kita PSF China kena, benangnya lolos. Pemerintah kita kurang responsif terhadap hal yang beginian. Urus anti dumping waktunya paling cepat 1,5 tahun. Tidak pernah berani kenakan BMAD sementara. Bahkan ketika sudah terbukti ada dumping, dengan lobi importir sana sini, akhirnya anti dumping lolos. Kalau KADI sudah putuskan terbukti dumping ya harusnya dikenakan BMAD," tandasnya.

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017