New York (ANTARA News) - Sejumlah negara pembenci Presiden Suriah Bashar al Assad tidak akan membantu pembangunan kembali pasca-perang jika tidak ada peralihan politik, kata Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson pada Senin.

Kelompok menamai diri "Sahabat Suriah" itu, yang terdiri atas 14 negara Barat dan Arab, bertemu di New York pada Senin di sela-sela Sidang Umum PBB.

Perang di Suriah, yang memasuki tahun ketujuh, tidak lagi menjadi perhatian dunia, yang beralih ke ancaman nuklir Korea Utara.

"Kami yakin bahwa satu-satunya cara ke depan adalah dengan meneruskan upaya politik. Kami juga ingin memperjelas kepada Iran, Rusia, dan pemerintah Assad bahwa kami tidak akan mendukung pembangunan kembali Suriah tanpa peralihan, yang tidak melibatkan Assad, sesuai dengan Resolusi 2254," kata Johnson.

Johnson merujuk pada resolusi Dewan Keamanan, yang disetujui melalui perundingan di Jenewa.

Dia juga merujuk pada keterlibatan Rusia dan Iran dalam perang di Suriah yang sangat menguntungkan Assad. Sementara pada saat bersamaan Amerika Serikat, yang mendukung gerilyawan, justru mulai mengurangi perang mereka dengan menghentikan program suplai senjata.

"Rekonstruksi di Suriah sangat bergantung pada adanya proses politik yang kredibel, yang sesuai dengan kesepakatan di Jenewa dengan peran dari PBB," kata Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, David Satterfield.

Pertemuan pada Senin itu sangat kontras dengan pertemuan tahun lalu yang terjadi tidak lama setelah gencatan senjata di kota terbesar Suriah, Aleppo, berakhir dengan kegagalan usai sebuah konvoi bantuan internasional terkena serangan bom udara.

Aleppo saat ini berada di bawah kekuasaan pasukan pemerintah, sementara posisi Assad semakin kuat berkat bantuan dari Rusia dan Iran.

"Kami di sini merundingkan bagaimana membangkitkan kembali perundingan damai yang diprakarsai PBB," kata Menteri Luar Negeri Swedia Margot Wallstrom, yang juga ikut hadir dalam pertemuan pada Senin, kepada Reuters.

Ketika ditanya mengenai perundingan damai di Astana yang diprakarsai oleh Rusia, Iran, dan Turki, Wallstrom mengatakan:

"Adalah kabar baik jika perundingan di Astana itu berkontribusi terhadap de-sekalasi kekerasan. Namun proses itu juga harus membicarakan transisi politik," kata dia.

Sebelumnya, Prancis mengatakan bahwa kondisi saat ini di Suriah beresiko membuat negara tersebut terpecah sehingga membuka pintu bagi terbentuknya kelompok-kelompok radikal yang baru.

Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, mengatakan bahwa dia akan menggelar rapat terbatas dengan anggota tetap Dewan Keamanan pada Kamis untuk mengakhiri konflik.

Le Drian berpendapat bahwa Assad tidak bisa terus berkuasa setelah jutaan warga Suriah mengungsi dari negaranya akibat perang.

((UU.G005/A/G005/A/B002) 

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017