Jakarta (ANTARA News) - Ombudsman RI kembali menjadwalkan memanggil Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo pada pekan depan atau awal Oktober 2017, guna membahas rencana 100 persen pembayaran non-tunai di jalan tol dan juga biaya isi ulang elektronik.

"Kami minta Gubernur BI untuk sampaikan penjelasannya dari Laporan Hasil Pemeriksaan kali ini. Selain BI kami juga akan undang Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat," kata Anggota Ombudsman Dadan S. Suharmawijaya setelah bertemu dengan perwakilan Bank Indonesia dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) di Jakarta, Rabu.

Dadan mengatakan Gubernur BI menjadi terlapor dalam aduan yang dilayangkan pengacara David Tobing.

Pada beberapa hari lalu, jumlah pengadu juga bertambah menjadi dua pihak setelah Lembaga Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Sahid mengajukan aduannya mengenai alat pembayaran non-tunai.

Setelah dikaji, Ombudsman menyatakan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono juga perlu dimintai keterangan karena merupakan regulator yang menerbitkan peraturan pembayaran non-tunai untuk jasa tol.

Sedangkan dalam pertemuan awal dengan perwakilan BI dan Badan Pengatur Jalan Tol, Rabu ini, Ombudsman menyimpulkan agar BI dan Kementerian PUPR tetap memperbolehkan masyarakat membayar tunai untuk jasa tol, tidak seperti rencana awal BI dan pemerintah yang ingin menerapkan 100 persen pembayaran non-tunai menggunakan kartu pada 31 Oktober 2017.

"Menggunakan non-tunai itu pilihan masyarakat, dan atas kesadaran efisiensi, bukan pemaksaan. Jangan ada peraturan blokir sama sekali non tunai," kata Dadan.

Dalam pertemuan Rabu ini, BI diwakilkan oleh Direktur Eksekutif Pusat Program Transformasi BI Aribowo dan Direktur Elektronifikasi Sistem Pembayaran BI Pungky Wibowo

Dadan mengatakan pertimbangan untuk memberikan opsi pembayaran tunai bagi masyarakat itu akan dijadikan sebagai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), dan kemudian akan dikaji dalam pertemuan selanjutnya untuk menjadi Laporan Hasil Akhir (LHA).

Menurut dia, jika Kementerian PUPR dan BI dapat mengakomodasi pertimbangan Ombudsman, maka pihaknya hanya akan mengeluarkan saran. Namun jika, Kementerian PUPR dan BI tetap bersikukuh untuk tidak membuka opsi pembayaran tunai, maka pihaknya bisa mengeluarkan rekomendasi yang bersifat mengikat.

"Sebetulnya Ombudsman tidak hanya mengeluarkan rekomendasi. Tapi juga saran. Tapi kita bisa keluarkan rekomendasi," ujar dia.

Dadan mengatakan pertimbangan itu diambil, karena dalam penerapan peraturan sistem pembayaran yang menyangkut kepentingan publik, harus mencakup manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

"Harus ada unsur afirmatif terhadap masyarakat yang mungkin jumlahnya sebagian kecil tapi tetap harus diakomodasi" ujarnya.

Maka itu, kata dia, dia meminta opsi pembayaran tunai tetap dibuka meskipun jumlah infrastrukturnya dikurangi. Misalnya, dalam satu gerbang tol, yang terdapat 10 pintu, sebanyak sembilan pintu boleh hanya melayani pembayaran non-tunai, tapi satu pintu lainnya harus mampu melayani tunai.

Menurut Dadan, dalam pertemuan itu, BI mengambil kesimpulan bahwa elektronifikasi 100 persen pembayaran jalan tol pada 31 Oktober 2017 mendatang, tidak melanggar Undang-Undang Mata Uang. Pasalnya, menurut BI seperti diutarakan Dadan, alat pembayaran bisa berupa tunai dan non-tunai, seperti surat cek yang selama ini digunakan.

"Perspektif BI itu akan kami telaah juga. Pada prinsipnya ketika di lapangam agar mereka yang gunakan uang tunai tidak ditutup atau diblokir sama sekali," ujar dia.

Dadan mengklaim BPJT, yang berada di bawah Kementerian PUPR sudah menyetujui pertimbangan Ombudsman itu.

"BPJT bilang ada upaya afirmatif yang diupayakan tetap dilakukan. Dalam arti jalan tol, di 10 pintu tol masih disisakan satu pintu untuk tunai," ujar dia.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017