Jakarta (ANTARA News) - Tak hanya di perdesaan, tren pernikahan usia anak atau usia kurang dari hingga 18 tahun juga terjadi di kawasan perkotaan. 

Bila di perdesaan, fenonema ini didasarkan pada kondisi sosial dan ekonomi keluarga, lantas apakah alasan hal ini juga terjadi di perkotaan?

"Ketahanan keluarga rapuh. Di desa anak-anak perempuan sudah menstruasi, orangtua terlilit hutang, siap melepaskan anak gadis untuk melepaskan tekanan. Sementara di perkotaan, ada faktor-faktor di luar sosial ekonomi, salah satunya ketahanan keluarga," ujar konsultan KB BKKBN, dr. Julianto Witjaksono, Sp.OG (KFER), MGO di Jakarta, Rabu. 

"Keluarga sangat sibuk. Tidak ada waktu untuk anak, mengikuti kegiatan anak, menyebabkan anak terpapar media sosial," imbuh Julianto yang juga merupakan spesialis obstetri ginekologi itu.  

Temuan serupa juga diungkapkan pihak Plan International Indonesia. Data Plan menunjukkan, tren pernikahan di perkotaan terjadi di masyarakat kelas bawah. 

"Kelas bawah. Di perkotaan sulit terkontrol. Orang-orang pindah dari desa, menikah di Jakarta. Orang-orang ini membawa nilai dari daerah asalnya. Ada istilah, di desa tidak nikah di kota bisa. Ada kecenderungan seperti itu," tutur Child Marriage Program Manager Plan International Indonesia, Amrullah. 

Amrullah mengatakan, gaya hidup berisiko tinggi salah satunya seks bebas menjadi salah satu penyebabnya dan anak-anak cenderung senang melakukan perilaku berisiko ini.   

"Ada kasus di pengadilan, hamil lalu dibawa ke pernikahan. Demand-nya dari lifestyle. Risky behavior tinggi di tingkat perkotaan," kata dia.

"Risky behavior bisa dari sisi kesehatan, sosial, budaya, macam-macam. Anak-anak muda senang melakukan risky behavior.  Contoh, anak bertukar jarum suntik. Anak di usia muda berani merokok dan bukan anak laki-laki lagi. Anak-anak sudah berani meninggalkan keluarga. Ini tren," sambung Amrullah. 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017