Cox's Bazar (ANTARA News) - Sebagian besar dari setengah juta pengungsi Rohingya yang baru tiba di Bangladesh menolak didata karena etnis mereka tidak tercantum dalam dokumen, memperlambat proses yang dianggap penting untuk pemulangan mereka ke Myanmar nantinya.

Militer Bangladesh mulai mendata sekitar 480.000 pendatang baru sejak lebih dari dua pekan lalu, tetapi sejauh ini baru menyelesaikan proses resgistrasi sekitar 24.000 orang.

Pada Kamis, koordinator pusat registrasi mengatakan bahwa pengungsi merasa keberatan dengan bahasa dalam berkas pendataan, yang merujuk mereka hanya sebagai warga Myanmar.

"Menurut informasi kami, mereka ingin ada nama 'Rohingya' di kartu mereka selain status kewarganegaraan mereka," kata Mayor Kabir Kibria kepada AFP.

"Keputusan pemerintah adalah untuk menyebut mereka hanya sebagai warga Myanmar."

Nur Hakim, yang mendapat kartu registrasi pada Kamis, mengatakan dia "tidak senang" dengan kartu yang diberikan kepadanya di pusat registrasi tidak memuat kata "Rohingya".

"Kami Muslim Rohingya. Itu identitas utama kami. Mengapa tidak disebut di kartu?" katanya.

Seorang pejabat Bangladesh mengatakan bahwa pemerintah sudah memutuskan untuk tidak mencantumkan etnis pengungsi sesuai dengan norma internasional.

"Banyak dari pemimpin masyarakat mereka menyebarkan informasi palsu bahwa kartu itu tidak akan berguna tanpa identifikasi yang 'tepat'," kata petugas itu, yang bersedia berbicara dengan syarat namanya tak disebut.

Mendata pengungsi Rohingya dianggap penting bagi pemulangan mereka nantinya ke Myanmar, yang pemimpin sipil de-factonya, Aung San Suu Kyi, mengatakan akan menarik kembali pengungsi yang telah diverifikasi.

Badan-badan bantuan mengatakan bahwa penting pula untuk memastikan bantuan tersalur merata.

Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan sekitar 480.000 Rohingya sudah melintas ke Bangladesh sejak 24 Agustus untuk menyelamatkan diri dari kekerasan di Rakhine State, Myanmar.

Sebelum mereka, sudah ada sedikitnya 300.000 Rohingya yang tinggal di sana demi menyelamatkan diri dari kekerasan yang sebelumnya terjadi di Myanmar, yang menganggap mereka sebagai imigran ilegal meski mereka sudah hidup di sana bergenerasi-generasi.

Bangladesh hanya mengakui sejumlah kecil dari mereka sebagai pengungsi, merujuk kebanyakan mereka sebagai warga Myanmar tak berdokumen.(kn)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017