Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memastikan akan banding jika gugatan terhadap kebijakan kemasan polos tanpa merek atau Kebijakan Plain Packaging (PP) pada kemasan produk tembakau Australia di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dinyatakan kalah pada laporan final oleh panel organisasi global itu pada tahun ini.

"Kita banding jika kalah, meskipun dikalahkan hanya satu dari 12-13 klaim kami karena kebijakan PP itu tidak benar baik dalam konteks produk tembakau maupun komitmen perdagangan global," kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo dalam diskusi media di Jakarta, Selasa.

Penegasan tersebut terkait dengan bocornya laporan interim kasus itu pada awal Mei lalu melalui pemberitaan media massa asing bahwa Indonesia bersama Honduras, Kuba dan Republik Dominika dinyatakan kalah dalam gugatan kebijakan PP Australia di sengketa WTO.

Kasus itu dimulai panelnya di WTO sejak akhir Oktober 2013 dimulai pada tahap konsultasi dan sejak Maret 2014 sudah memasuki tahap panel (litigasi) dan pada tahap ini sebenarnya masih konfidensial (rahasia) sebelum seluruh pihak menerima laporan final dari WTO, termasuk 36 anggota WTO lainnya.

Oleh karena itu, tegasnya, Indonesia sudah melayangkan protes ke Sekretariat WTO dan meminta untuk diinvestigasi.

Dia menegaskan, bahwa kebijakan PP Australia itu apakah melanggar aturan WTO atau tidak, harus ditentukan oleh alasan dan analisis hukum putusan panel.

"Indonesia tidak dapat membuktikan, maka secara hukum kebijakan PP belum tentu konsisten dengan aturan WTO. Karena itu, kami bisa banding," katanya.

Selain itu, lanjutnya, sekalipun konsisten dengan aturan WTO, interpretasi dan analisis hukum panel belum tentu tepat sehinga Indonesia atau pihak penggugat lainnya juga dapat mengajukan banding.

Dampak sistemik

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mendukung upaya banding jika Indonesia dinyatakan kalah dalam sengketa kebijakan PP di WTO menghadapi Australia.

"Kami dukung karena kebijakan itu selain mencederai hak kekayaan intelektual, melenyapkan fungsi merek dagang dan lainnya, juga dapat berdampak pada regulasi untuk komoditas lain, bahkan bisa berdampak sistemik pada produk ekspor strategis nasional lainnya yang memiliki profil risiko dan seperti aneka produk makanan (consumer goods) dan kelapa sawit," katanya.

Kebijakan PP pertama kali diterapkan terhadap seluruh produk tembakau Australia pada 2012 dan ini disusul Perancis, Ingggris pada 2016. Kini sejumlah negara juga mempertimbangkan hal yang sama yaitu Irlandia, Norwegia, Hunggaria, Slovenia, Swedia, Finlandia, Kanada, Selandia Baru, Singapura, Belgia dan Afrika Selatan.

Kebijakan itu bertujuan untuk mengurangi dorongan calon perokok untuk membeli atau mengonsumsi rokok.

Alasan Indonesia bersama Honduras, Kuba dan Republik Dominika menggugat Australia kebijakan PP itu di WTO mengklaim bahwa Australia melanggar sejumlah pasal antara lain, pasal 20 menyatakan bahwa anggota WTO tidak diperbolehkan untuk menerapkan persyaratan khusus yang secara tidak dibenarkan mempersulit penggunaan merek dagang.

Selain itu, juga melanggar pada pasal 2.2 dari TBT Agreement WTO bahwa anggota WTO berkewajiban untuk memastikan bahwa peraturan teknis yang diterapkan tidak menghambat perdagangan lebih daripada yang diperlukan.

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017