Sydney (ANTARA News) - Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari, mengatakan, Indonesia mendukung kesepakatan para Menkes APEC tentang saling berbagi sampel virus flu burung dan manfaat yang diperoleh dari praktik itu sesuai dengan resolusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pernyataan itu disampaikan Menkes Siti Fadilah Supari menjawab ANTARA dalam konferensi pers bersama para Menkes APEC seusai pertemuan dua hari mereka di Sydney, Jumat siang. "Kami mendukung `virus sharing` (berbagi sampel virus) sesuai dengan resolusi WHO," katanya ketika ditanya apakah Indonesia cukup puas dengan poin enam isi Pernyataan Para Menkes APEC yang merangkum butir-butir kesepakatan yang dihasilkan dalam dua hari pertemuan mereka di Sydney itu. Menjawab pertanyaan tentang masalah pedoman pengiriman sampel virus H5N1, ia mengatakan, pedoman baru mengenai hal itu belum ada secara internasional namun pada Oktober 2007 akan dilangsungkan pertemuan guna menyusun pedoman tersebut. Sebelumnya para Menkes APEC telah sepakat untuk memastikan dan mendukung terwujudnya praktik saling berbagi manfaat dari pengiriman sampel virus (virus sharing) flu burung (H5N1) sebagai upaya memperbaiki tingkat kesiapan menghadapi ancaman pandemi secara global. Kesepakatan mereka tentang berbagi manfaat dari saling mengirim sampel virus itu tidak hanya meliputi informasi, diagnostik, dan obat-obatan, tetapi juga vaksin serta berbagai teknologi yang berkembang dari hasil berbagi sampel virus tersebut. Disepakati bahwa hal ini dilakukan secara transparan dan fair. Dalam masalah "virus sharing" ini, Indonesia pernah menghentikan pengiriman sampel virus AI-nya ke laboratorium kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Tokyo sebagai bentuk protes terhadap perusahaan farmasi yang menggunakan turunan vaksin asal Indonesia tanpa memberitahu Jakarta. Sementara itu, Menteri Kesehatan dan Penuaan Australia, Tony Abbott, mengatakan, pihaknya sangat berempati pada kekhawatiran Indonesia tentang persoalan manfaat apa yang akan diperoleh secara nyata dari pengiriman sampel virus H5N1 itu. Australia, katanya, berkomitmen mengirim vaksin pra pandemi influenza untuk Indonesia jika negaranya sudah memiliki cadangan vaksin tersebut. Seperti terungkap dalam "Ministers Outcome Statement" yang memuat hasil pertemuan dua hari para Menkes forum kerja sama beranggotakan Indonesia, Australia, AS, Brunei, Kanada, Chile, RRC, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini , Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, dan Vietnam itu. Para Menkes sepakat bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memperbaiki kesiapan merespon ancaman pandemi flu secara global. Terkait dengan berbagi spesimen virus flu burung itu, para Menkes APEC sepakat untuk melanjutkan dukungan mereka pada Jaringan Survelensi Flu Global (GISN) WHO dan menunggu terbentuknya mekanisme untuk GINS WHO ini. Para Menkes APEC yang bertemu dua hari di Hotel Westin Sydney itu juga menyetujui apa yang disebut "APEC Functioning Economies in Times of Pandemic Guidelines" (Pedoman APEC Memfungsikan Anggota Ekonomi Di Saat Pandemi) sebagai sumber rujukan dan pengakuan akan pentingnya memperbaiki kapasitas regional untuk perencanaan tanggap dan manajemen darurat yang tepat. Mengenai penyebaran HIV/AIDS di sejumlah anggota ekonomi APEC, para Menkes 21 anggota forum ini mengakui hal itu sebagai tantangan bidang kesehatan yang serius dan membawa konsekuensi sosial dan ekonomi. Untuk itu, disepakati perlunya pedoman bagi pemilik usaha tentang bagaimana menciptakan praktik tempat kerja yang efektif bagi mereka yang hidup bersama HIV/AIDS. "Pedoman ini akan diperbaharui untuk disesuaikan dengan perkembangan waktu. Dan kami, para menteri kesehatan, menegaskan kembali komitmen kami untuk menjawab tantangan-tantangan ini guna memastikan terwujudnya kesehatan dan kesejahteraan komunitas Asia Pasifik sekarang dan di masa mendatang," demikian pernyataan bersama para Menkes APEC itu. Kapasitas negara Sebelumnya, Direktur Regional WHO untuk Pasifik Barat, Shigeru Omi, mengingatkan para Menkes APEC agar terus membangun kapasitas negaranya dalam penanganan ancaman wabah flu burung mengingat H5N1 itu berkembang cepat dan selama ini aksi kontainmen terhadapnya masih terlalu lamban. "Virus H5N1 berkembang dengan cepat dan ancaman pandemi (Avian Influenza) ini tetap ada. Diperlukan membangun `core capacity` (kapasitas inti) di tingkat negara," katanya. Tantangan besar bagi forum yang dibentuk tahun 1989 itu adalah adanya ketimpangan kemampuan dan kapasitas antaranggota ekonomi dalam merespon ancaman pandemi flu burung karena ada yang justru tidak mempunyai kapasitas di tengah terus bermunculannya jenis penyakit menular baru dalam 20 - 30 tahun terakhir. Dr.Shigeru Omi lebih lanjut mengatakan, berdasarkan pengalaman yang dialami para wakil anggota ekonomi APEC dalam pelatihan menghadapi ancaman flu burung belum lama ini, persoalan "kecepatan" merupakan masalah kunci dalam melakukan kontainmen segera ketika pandemi flu manusia (human influenza) terjadi. Dari pengalaman selama ini, rata-rata waktu kontainmen adalah 16,7 hari padahal para ahli umumnya sepakat bahwa keberhasilan dalam menanggulangi pandemi flu burung yang bertransmisi dari manusia ke manusia sangat ditentukan oleh kecepatan melakukan kontainmen, katanya. Dunia pernah mengalami pandemi flu pada tahun 1918, 1957, dan 1968. Pada pandemi flu Spanyol yang terjadi dalam tiga gelombang, yakni 1918, 1919 dan 1957-1958, antara 20 hingga 40 juta orang meninggal di seluruh dunia, termasuk Australia yang kehilangan 11.500 orang warganya akibat flu Spanyol tahun 1919. Dalam pandemi flu Asia tahun 1957, dua juta orang meninggal dunia. Bayi dan orang lanjut usia merupakan kelompok penderita yang sangat rentan terhadap virus flu ini, sedangkan pada pandemi flu Hong Kong tahun 1968-1970, satu juta orang di seluruh dunia dilaporkan meninggal dunia. Isu kesehatan mulai mendapat perhatian serius dari APEC sejak merebaknya wabah sindrom pernapasan sangat akut (SARS) tahun 2002. Sejak itu, APEC mulai mengkaji berbagai isu kesehatan yang berdampak pada perekonomian di kawasan Asia Pasifik. Dalam kasus flu burung, industri perunggasan Indonesia mengalami kerugian hingga Rp13 triliun antara tahun 2003 dan 2005. Secara global, total kerugian yang diderita industri peternakan dunia mencapai dua miliar dolar AS atau Rp18,282 triliun (1 dolar AS=Rp9.141-red) selama kurun waktu September 2005 hingga September 2006. Selain kerugian ekonomi, H5N1 juga telah merenggut banyak nyawa warga negara anggota ekonomi APEC. Indonesia tercatat sebagai anggota ekonomi APEC yang terbanyak memiliki kasus H5N1, yakni hingga Mei lalu mencapai 98 kasus yang 78 di antara penderita meninggal dunia. Di China hingga 4 Juni 2007, kementerian kesehatan negara itu melaporkan 25 kasus H5N1, yang 16 penderita di antaranya meninggal dunia. Selain Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari Sp.JP(K), Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb, Konsul Jenderal RI di Sydney, Sudaryomo Hartosudarmo, dan sejumlah pejabat di lingkungan Depkes RI juga masuk dalam delegasi RI dalam pertemuan Menkes APEC di Sydney itu.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007