Jakarta (ANTARA News) - Myanmar, khususnya pemerintah, termasuk pemimpin mereka, Aung San Suu Kyi, tak mau menggunakan kata "Rohingya" untuk komunitas muslim Bengali di Rakhine utara.

Tak banyak pula literatur yang menjelaskan dengan meyakinkan asal muasal kata Rohingya. Namun ada kesepakatan umum bahwa Rohingya lebih merupakan gerakan politik ketimbang identitas etnis.

Pakar Rohingya asal Prancis, Jaques P. Leader, dalam "Rohingya: the Name, the Movement and the Quest for Identity", mengatakan "Rohingya dibentuk oleh kaum muslim di Rakhine utara untuk melegitimasi klaim mereka agar diakui sebagai komunitas muslim yang secara kultural berbeda, demi proyek besar mereka, otonomi politik".

Sedangkan Martin Smith dalam "Human Security Challenges in Myanmar" menyebut dua kelompok besar muslim di Rakhine atau Arakan; yakni muslim Arakan yang merupakan komunitas muslim dalam rumah besar suku Arakan, dan kaum nasionalis muslim di Rakhine utara yang menyebut diri Rohingya.

Laporan Amnesty International 1992 menyebutkan kelompok muslim Rakhine utara senantiasa menyebut diri Rohingya sebagai identitas pembeda mereka dari Myanmar yang mayoritas penduduknya penganut Buddha. Mereka mengklaim diri sebagai keturunan Arab dan Persia yang hidup berabad-abad di daerah Arakan yang disebut Rakhine oleh Myanmar.

Lain halnya dengan Klaus Fleischmann. Dalam "Arakan, Konfliktregion zwischen Birma und Bangladesh" pada 1978, dia menyatakan kemelut "rasial, keagamaan dan sosial" antara Arakan-Buddha melawan muslim Bengali yang memicu konflik besar 1977-1978 adalah dampak imigrasi ilegal dari Pakistan Timur setelah merdeka menjadi Bangladesh pada 1971.


Asal kata Rohingya


Menilik asal katanya, Rohingya berasal dari Rakhine atau Rakhanga dalam Bahasa Urdu, yang kemudian menjadi Rahanga karena huruf "kh" dalam Bahasa Sansekerta luluh menjadi "h" dalam bahasa rakyat biasa Prakerta.

Karena dalam Bahasa Bengali  "ra" diucapkan "ro", maka lahir kata "Rohanga" (dibaca Rohangga).

Selanjutnya 'ngga' dalam Rohangga berubah menjadi "gya" dalam "Rohangya", dan lambat laun pengucapan 'a' dalam 'ha-ngya" menjadi 'hi-ngya" sehingga akhirnya jadilah kata "Rohingya".

"Rohingya" tidak merujuk atau memiliki makna apa-apa selain sebutan kaum muslim di Rakhine utara yang sebenarnya beretnis Bengali seperti kebanyakan warga di Bangladesh dan India.

"Rohingya" pernah muncul dalam literatur prakolonial Inggris pada 1790-an, ketika Francis Hamilton-Buchanan dalam "A Comparative Vocabulary of Some Languages Spoken in the Burma Empire" menyebut tiga dialek di kerajaan Burma yang berasal dari bahasa bangsa Hindu, yakni (1) muslim pendatang dari Arab dan India yang sejak lama tinggal di Arakan, (2) mereka yang menyebut diri Rooinga atau asli Arakan, dan (3) mereka yang berbicara Hindu Arakan.

Dari situ tersirat Rohingya sudah ada di Arakan atau Rakhine jauh sebelum Inggris masuk menjajah anak benua India di mana Bangladesh termasuk di antaranya.

Tapi sejarawan Thomas Campbell Robertson menyatakan Rohingya dibawa ke Arakan sebagai budak oleh penguasa kolonial Inggris ketika Arakan masih merupakan kerajaan merdeka, sebelum menggabungkan diri dalam Union of Burma pada 1948.

Sebelum itu, di tanah Arakan ini, kelas terdidik muslim di Maungdaw dan Buthidaung terus memperjuangkan otonomi politik setelah Perang Dunia Kedua usai.

Namun aspirasi mereka pupus begitu Muhammad Ali Jinnah dan Jenderal Aung San --salah satu pendiri Burma dan ayahanda dari Aung San Suu Kyi-- menyepakati perbatasan Pakistan-Burma di sepanjang Sungai Naf pada April 1947 sebelum Uni Burma berdiri.  Saat itu Bangladesh masih menjadi bagian Pakistan dengan nama Pakistan Timur.

Sejak itu muslim Rakhine utara memperjuangkan zona eksklusif muslim. Setelah Pakistan Timur merdeka menjadi Bangladesh pada 1971, muslim Rakhine Utara kehilangan opsi menjadi bagian Pakistan dan sekaligus kehilangan opsi mendirikan sebuah negara yang terpisah dari Myanmar.


Peristiwa 1942

Tuntutan otonomi mengencang setelah junta militer membatasi dan menindas muslim Rakhine utara, yang kian keras setelah junta militer tumbang menyusul mulai berkuasanya tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi.

Mereka lalu mencomot dan mempopulerkan "Rohingya" sebagai usaha mengidentifikasi sejarah dan geografi negara yang mereka tinggali, menarik kohesi komunitas muslim lain di Rakhine, dan memberikan perasaan kolektif untuk berjuang bersama.

Namun, sejarawan Andrew Selth dalam "Burma's Muslims" pada 2003 menyebutkan penduduk muslim Rakhine hanya ingin kebebasan beribadah, jaminan kebebasan menjalankan tuntunan agama, serta hak politik dan ekonomi yang sama dengan komunitas lain di Burma.  Bahkan perjuangan mendapatkan kewarganegaraan adalah tujuan politik utama mereka sejak 1982.

Aktivis HAM Myanmar bernama Maung Zarni yang hidup di pengasingan di Inggris mengatakan kepada Dhaka Tribune bahwa militer Myanmar memiliki kepentingan politik, ekonomi dan strategis dengan tetap memelihara bara konflik di Rakhine, selain punya proyek besar mengusir Rohingya dari Rakhine.

"Myanmar menjual operasi melawan kelompok militan Arakan yang membunuh 12 polisi dan tentara. Narasi ini palsu. Myanmar tidak sedang memerangi terorisme, melainkan menuntaskan urusan yang belum selesai pada 1942," kata Maung Zarni.

Etnis muslim lainnya di Myanmar seperti Kamein, Parthay, dan Pashu, hidup berdampingan selama berabad-abad di Rakhine, sebaliknya Rohingya sejak lama menginginkan kemerdekaan sampai kemudian mengorkestrai pembantaian rakyat Rakhine pada 1942 demi mendirikan negara terpisah yang kemudian gagal.

Peristiwa 1942 ini terus diingat oleh Myanmar, terutama oleh militer, yang kian dikeraskan setelah junta militer berkuasa sejak 1962 sampai menjadi penguasa bayangan di balik Aung San Suu Kyi belakangan ini.

"Serangan Tentara Pembebasan Arakan Rohingya (ARSA) ke pos-pos perbatasan Myanmar pada 25 Agustus 2015 lebih mirip dengan pemberontakan kaum Yahudi yang menjadi korban kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz pada Oktober 1944 ketimbang sebagai gerakan pemberontakan terorganisir dan bersenjata," kata Maung Zarni.


Cadangan minyak

Militer Myanmar mengambil garis kebijakan anti-muslim setelah Ne Win melancarkan kudeta pada 1962.

Selama 50 tahun setelah itu, militer Myanmar membersihkan dirinya dari anasir-anasir muslim dalam tubuh tentara. Mereka menyebut Rohingya sebagai Bangladesh sehingga dianggap sebagai ancaman keamanan nasional.

Komunitas muslim di Myanmar tak hanya Rohingya, namun karena Rohingya satu-satunya komunitas muslim yang memiliki kantong geografis sendiri, maka perlakuan terhadap Rohingya jauh lebih keras, terutama sejak junta militer berkuasa.

Myanmar sebenarnya menghadapi ancaman separatisme dari suku Kachin, Chin, Shan, Karen dan Mon yang mendiami wilayah-wilayah perbatasan dengan China, India, dan Thailand, sedangkan Rakhine yang mayoritas Rohingya berbatasan dengan Bangladesh dan India.

Lalu muncul analisis mutakhir bahwa yang terjadi di Rakhine sekarang adalah akibat dari penemuan cadangan minyak melimpah di Rakhine dan jalur pipa migas dari Rakhine ke China.

Pemerintah Myanmar, khususnya militer, tak menginginkan Rakhine yang kaya minyak dihuni oleh mayoritas Rohingya. Sebaliknya, cadangan minyak kian mengeraskan aspirasi kelompok garis keras Rohingya yang terdidik di Rakhine utara untuk memisahkan diri atau setidaknya mendapat status otonomi, termasuk juga di Maungdaw yang menjadi pusat gravitasi konflik di Rakhine.

Konflik Rakhine pun menjadi multidimensional, bahkan ada dalam rancangan aktor-aktor transnasional.

"Pertama, ini adalah permainan menghadapi China karena China mempunyai investasi sangat besar di Rakhine. Kedua, ini untuk membiakkan ekstremisme muslim di Asia Tenggara. Ketiga ini ditujukan untuk menciptakan perpecahan dalam tubuh ASEAN," kata Dmitry Mosyakov, Direktur Asia Tenggara, Australia dan Oseania pada Institut Studi Oriental, Akademi Sains Rusia.

Setelah pada 2004 menemukan cadangan energi yang besar di Rakhine, Myanmar menarik China yang pada 2013 berhasil menuntaskan jalur pipa minyak dan gas yang menghubungkan Pelabuhan Kyaukphyu di Myanmar dengan kota Kunming di Provinsi Yunnan, China.

Pipa minyak ini membuat China dapat mengalirkan minyak mentah dari Timur Tengah dan Afrika tanpa melewati Selat Malaka sehingga memangkas jarak distribusi energi sampai ribuan kilometer atau menghemat miliaran dolar AS per tahun, sedangkan jalur pipa gas akan menyalurkan minyak dari lepas pantai Myanmar di Rakhine ke China.


Ultranasionalis

Perkembangan terbaru ini mencemaskan beberapa aktor politik dunia, termasuk Amerika Serikat. Mereka lalu mengaransemen atau paling tidak memanfaatkan konflik di Rakhine untuk mengganggu proyek energi China dan sekaligus menciptakan kantung instabilitas di pintu masuk China.

Inilah mengapa China terlihat bermuka dua. Di satu sisi, menyatakan prihatin atas kekerasan di Rakhine, namun di sisi lain berusaha menjauhkan Myanmar dari sanksi internasional PBB yang jelas akan mengamputasi proyek-proyek energinya di Myanmar.

Ironisnya, pemerintahan Myanmar juga tak satu kata. Pemimpin mereka adalah Aung San Suu Kyi, tetapi penguasa nyata di negeri ini adalah militer yang menjadi operator utama berbagai kebijakan strategis di Myanmar.

Saat Suu Kyi bersiap menerima dan mengimplementasikan rekomendasi Komisi Penasihat di Rakhine State pimpinan Kofi Annan, yang salah satunya memberikan status kewarganegaraan kepada Rohingya, ada kekhawatiran luas di Myanmar yang tidak saja berasal dari militer, bahwa pemberian status akan makin melengkapi kemayoritasan Rohingya di Rakhine yang kaya energi dan merupakan gerbang baru bagi ekonomi Myanmar.

Situasi ini diperparah oleh merebaknya sentimen nasionalisme Buddha yang mengkhawatirkan perkembangan cepat komunitas muslim di Rakhine, yang bisa beresonansi ke bagian lain wilayah Myanmar. 

Di antara yang paling aktif mengampanyekan garis ultranasionalis ini, yang juga diam-diam disokong dan dimanfaatkan oleh anasir-anasir dalam tentara, adalah Ma Ba Tha.

Namun Aye Thein, peneliti jurusan Hubungan Internasional di Universitas Oxford, Inggris, di Irawaddy.com, menyebut kelompok nasionalis Buddha Ma Ba Tha lebih sebagai gerakan anti-Rohingya, ketimbang anti-Islam. 

Menurut dia, nasionalis Buddha lebih didasari pada penolakan terhadap Rohingya yang disebut tak lebih sebagai gerakan politik, bukan identitas keetnisan; serta terhadap klaim legal Rohingya di Rakhine.

Kelompok ultranasionalis ini, menurut Aye Thein, bukan tak bisa dilawan. Sebaliknya, bisa dimentahkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi yang tengah berkuasa sekarang, dan juga kelompok-kelompok masyarakat madani.

Dan itu sepertinya tengah disampaikan kepada dunia oleh Aung San Suu Kyi, dengan bergerak cepat membentuk kelompok kerja repatriasi pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Ini ujian sekaligus tantangan serta pembuktian. Dunia akan terus melihat apa yang dilakukan Suu Kyi, yang meski kekuasaannya diamputasi militer, tetap lebih dipandang dunia ketimbang siapa pun di Myanmar.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017