Namun jumlah ini akan terus bertambah karena data terakhir adalah pada Juni 2017 dan masih ditambah dengan uang rampasan dari terpidana Muhammad Nazaruddin senilai Rp136,536 miliar."
Jakarta (ANTARA News) - Sejak 2005 hingga Juni 2017, KPK sudah melakukan pemulihan aset (asset recovery) sebesar Rp1,917 triliun dari barang sitaan baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Aset itu terdiri dari denda senilai Rp66,3 miliar, uang pengganti sebesar Rp908,724 serta uang rampasan sebesar Rp942,478 miliar sehingga totalnya senilai Rp1,917 triliun yang masuk ke kas negara.

"Namun jumlah ini akan terus bertambah karena data terakhir adalah pada Juni 2017 dan masih ditambah dengan uang rampasan dari terpidana Muhammad Nazaruddin senilai Rp136,536 miliar," kata Pelaksana Tugas Koordinator Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK Irene Putri dalam diskusi di gedung KPK Jakarta, Rabu.

Di dalam aset-aset tersebut termasuk juga aset yang berada di luar negeri tapi terkait dengan perkara korupsi.

"Penyitaan untuk aset di luar negeri tentu bukan kita yang melakukan penyitaan karena berbeda yuridiksi tapi UU KPK No 30 tahun 2002 pasal 12 huruf h menjelaskan KPK bisa meminta bantuan penegak hukum untuk melakukan penyitaan atas hasil tindak pidana atau barang bukti yang terdapat di luar negeri jadi kami minta bantuan penegak hukum di sana untuk melakukan pembekuan aset," tambah Irene.

Sejauh ini ada aset di Australia dan Singapura yang terkait kasus korupsi di KPK telah dibekukan sedangkan proses pembekuan aset di beberapa negara lain juga berlangsung tapi belum dapat diungkapkan karena masih dalam tahap penyidikan.

"Kalau yang sudah berkekuatan hukum tetap misalnya kasus Innospec Pertamina ada uang 190 ribu dolar AS di Singapura dirampas untuk negara. Jaksa eksekusi KPK bekerja sama dengan Singapura melalui mekanisme MLA (mutual legal assistance) dan masih menunggu karena prosesnya bukan proses sekejab dan menunggu persidangan di sana, tapi perintah hakim di sini menyetujui aset dikembalikan ke Indonesia," tambah Irene yang merupakan jaksa penuntut umum tersebut.

Sedangkan untuk aset di dalam negeri, menurut Irene tidak diperlukan izin berdasarkan pasal 47 UU No 30 tahun 2002 tentang KPK yaitu "Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya."

"KPK tidak perlu izin untuk menyita termasuk sita eksekusi dan uang pengganti. Tapi barang sitaan itu baru upaya paksa penyidik untuk melakukan penyitaan semua dilimpahkan ke penuntut umum dan dikaji apakah barang-barang itu relevan untuk pembuktian hasil tindak pidana atau tidak jadi penyitaan saja belum ada implikasi bahwa barang itu dirampas untuk negara," jelas Irene.

Namun bila barang itu belum mendapatkan putusan hukum tetap dari pengadilan, barang juga tetap bisa dilelang dengan sedapat mungkin dengan persetujuan terdakwa.

"Karena belum ada aturan lebih lanjut mengenai barang sitaan yang dilelang. Kalau kita sudah terlanjur melakukan lelang dalam tahap sitaan tanpa persetujua tapi ketika putusan hakim malah disebut agar dikembalikan ke terdakwa maka harus dicarikan barang yang sama dengan yang dilelang, jadi persetujuan tersangka itu penting," ungkap Irene.

KPK pernah melakukan lelang barang sitaan untuk sapi milik mantan Bupati Subang Ojang Suhandi dalam suap perkara korupsi BPJS Kabupaten Subang.

"Mungkin karena saat pelelangan menjelang Idul Adha maka sapi-sapinya nilainya bagus, dan terdakwa juga tidak keberatan," tambah Irene.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017