Surabaya (ANTARA News) - Dewan Pers mengakui saat ini hoax atau berita bohong semakin marak beredar melalui media sosial, dan banyak pengaduan mengenai hal itu termasuk dari Kantor Staf Presiden.

"Hoax bagian dari abal-abalisme. Kita harus perangi. Dewan Pers baru saja menerima pengaduan dari Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Teten Masduki bahwa dia diberitakan menerima uang Rp200 miliar dari Panglima TNI. Kita cek di mana alamatnya ternyata rumah kosong," kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo disela acara "Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat" di Surabaya, Kamis.

Yosep Adi mengatakan hoax banyak diproduksi melalui media daring yang tak terdaftar di Dewan Pers, melalui media sosial dan juga kelompok Saracen. Untuk itu, pihaknya menyatakan hoax harus diperangi bersama karena bukan hanya masalah di Indonesia.

"Bulan lalu saya baru pulang dari Hungaria diundang untuk menjadi observer Dewan Pers seluruh Eropa. Mereka mengeluhkan kondisi yang sama. Jerman, Georgia, Rusia bahkan Catalunya dan Spanyol menghadapi masalah yang sama dengan ide referendum," kata dia.

Dia menjelaskan bahwa pers harus bisa menjadi alat untuk mensterilisasi berita-berita hoax dan membantah kebohongan-kebohongan yang dimunculkan terutama melalui media daring dan media sosial. Itu untuk merebut kepercayaan publik kembali terhadap pers.

"Kita tahu pasca Pemilihan Presiden 2014 dan kita lihat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 DKI Jakarta, pers kehilangan kepercayaan dari publik karena publik lebih mempercayai berita-berita yang beredar di media sosial," katanya.

Hoax, lanjut dia sama bahayanya dengan ajakan untuk radikalisme. Menurutnya, radikalisme bisa membuat fenomena orang bisa membuat tindakan ekstrim dan bahkan melakukan bom bunuh diri hanya dari informasi yang sebetulnya tidak tahu sumbernya dari mana karena melakukan komunikasi dari dunia maya.

"Tapi kalau berita hoax, bisa memecah belah bangsa karena ada orang yang sengaja melakukan adu domba antaragama, antarumat, bahkan antarkelompok yang berbedam," tuturnya.

Pewarta: Indra Setiawan/Willy Irawan
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017