Kudus (ANTARA News) - Ribuan warga Kudus, Jawa Tengah yang dimotori Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), menggelar unjukrasa menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria. Aksi damai yang digelar di Alun-alun Simpang Tujuh, Kudus, Selasa, juga diikuti sejumlah organisasi kemasyarakatan, pemuda dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti PMII, HMII, BEM STAIN, Walhi, Marem, Banser, KNPI. "Kami berharap pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membatalkan rencana pembangunan PLTN Muria. Kalau rakyat menolak, untuk apa ngotot?" kata Ketua DPC KSPSI Kudus Mochammad Asad yang juga koordinator aksi. KSPSI memotori aksi tersebut, kata Asad, karena selain menganggap PLTN berbahaya bagi manusia dan lingkungan, juga akan membuat pelaku usaha hengkang dari Kudus, juga daerah sekitarnya. "Kalau ini terjadi, maka akan terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal. Buruh anggota KSPSI Kudus saja mencapai 160 ribu orang," kata Asad yang juga Ketua KSPSI Jawa Tengah tersebut. Ketua LSM Masyarakat Reksa Bumi (Marem) Lilo Sunaryo dalam orasinya menyatakan, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) sebagai lembaga yang mewakili pemerintah dalam kontrak kerjasama pembangunan PLTN Muria tidak transparan dan obyektif dalam menyampaikan informasi pada masyarakat. Dikatakannya, Batan selama ini hanya menyuguhkan data tentang manfaat energi nuklir tanpa memberikan informasi tentang bahaya PLTN bagi kehidupan manusia kini dan mendatang. "PLTN di sejumlah negara maju dengan pengamanan dan kesadaran masyarakat lebih tinggi saja masih menimbulkan masalah, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia," katanya. Ia lantas mencontohkan insiden PLTN Tokaimura, Jepang, tahun 1999, Chernobyl di Ukraina, Three Miles Island (AS), dan Port Hope (Kanada). Dikatakannya, dengan berbagai risiko yang ada, jika pemerintah tetap membangun PLTN, maka itu hanya untuk kepentingan investor asing. "Artinya pemerintah lebih cinta investor asing daripada rakyatnya sendiri," katanya. Bupati Kudus M Tamzil yang didaulat tampil berorasi menyatakan, rencana pembangunan PLTN Muria belum menjadi kesepakatan rakyat. Karena itu, ia mendukung aksi tersebut. "Rencana pembangunan PLTN Muria belum jadi kesepakatan masyarakat, rakyat, maka kita dukung. Sebagai kepala daerah saya akan sampaikan aspirasi ini ke pemerintah pusat," katanya disambut tepuk meriah peserta aksi damai. Dalam tulisan opininya yang dimuat salah satu koran di Jawa Tengah, Tamzil menyatakan, ketakutan akan pembangunan PLTN Muria menyebabkan para pelaku usaha siap-siap hengkang dan merelokasi usahanya keluar dari Kudus. Hal yang sama dialami pelaku usaha dari Jepara, Pati, Demak. Dalam aksinya, pelaku aksi damai yang menakan Aliansi Buruh dan Masyarakat Muria itu menggelar berbagai poster dan spanduk yang isinya menolak PLTN, antara lain bertuliskan "PLTN: Pembangkit Listrik Tumpas Nyawa". Aksi damai tersebut juga dimeriahkan dengan "happening art" yang dilakukan sejumlah pemuda yang sekujur tubuhnya dilabur dengan bedak putih dan dibebat kain putih menggotong keranda yang menggambarkan korban kebocoran reaktor nuklir. Setelah sempat mengendap 11 tahun, rencana pembangunan PLTN Muria dibuka kembali. Direncanakan pada 2008 Batan memulai proses lelang megaproyek senilai 76,5 triliun tersebut. Jepang, Korea, Prancis, AS dan Rusia disebut-sebut berminat pada proyek itu. Batan merencanakan membangun empat unit PLTN Muria. Masing-masing reaktor itu akan menghasilkan tenaga listrik sekitar 1.000 megawatt. Unit pertama kemungkinan sudah bisa beroperasi pada 2016. Sementara unit kedua akan dijalankan pada 2017, yang akan dilanjutkan dengan sejumlah proses seperti evaluasi dan alih teknologi. Selanjutnya berurut pada 2018 dan 2019, dua unit reaktor lainnya dioperasikan. Studi Australian National University (ANU) 1996 menyebutkan, jika terjadi bencana PLTN Muria, tebaran radio aktifnya menyebar di kawasan Asia Tenggara dan Australia.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007