Bogor (ANTARA News) - Sebanyak 24 primata terdiri atas 18 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan enam beruk (Macaca namestrina) dilepasliarkan oleh Internasional Animal Rescue (IAR) Indonesia ke Kawasan Hutan Lindung Batutegi, Provinsi Lampung.

Staf Medis IAR Indonesia Imam Arifin menyebutkan satwa-satwa tersebut terdiri atas dua grup beruk dan empat grup monyet ekor panjang. Grup beruk di antaranya grup Brahman (dua jantan), dan grup Panji (tiga jantan, satu betina). Sedangkan empat grup monyet ekor panjang, yakni grup Andri, Awi, Robert, dan Raya.

Ia mengatakan primata tersebut telah dilepasliarkan Senin (21/10). Semua primata telah menjalani proses panjang untuk mengembalikan sifat liarnya.

"Satwa terlebih dahulu dikarantina, lalu diperiksa kesehatannya untuk memastikan tidak ada penyakit," kata Imam di Bogor, Selasa.

Setelah itu lanjutnya, masuk tahap rehabilitasi, observasi perilaku, pengenalan pakan alami, pengelompokan grup, serta pemberian pengayaan (enrichment) untuk menstimulasi perilaku alaminya.

"Hingga mereka lolos seleksi untuk dilepasliarkan," katanya.

Menurutnya, beruk dan monyet ekor panjang tersebut merupakan satwa hasil serahan masyarakat dan aktivis hewan di sejumlah daerah. Selain itu, kebanyakan dari mereka (primata) adalah korban bekas pemeliharaan yang ditelantarkan oleh pemeliharanya.

Beberapa faktor yang menyebabkan ditelantarkan karena bosan atau sudah membahayakan pemeliharanya. Mereka menjalani proses rehabilitasi ada yang sejak 2012, 2013, dan 2014. Rehabilitasi dilakukan di pusat rehabilitas IAR Indonesia, Ciapus, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

"Tidak seharusnya primata ini dipelihara di rumah menjadi hiburan karena mereka adalah satwa liar yang harus hidup di habitatnya," kata Imam.

Sementara itu Manajer Program IAR Indonesia Robithotul Huda menyebutkan pelepasliaran beruk dan monyet ekor panjang di kawasan Hutan Lindung Batutegi, Lampung menjadi upaya untuk memberikan kesempatan satwa bekas pemeliharaan untuk kembali ke habitat aslinya sesuai dengan prinsip kesejahteraan satwa.

"Selain itu juga untuk mengembalikan fungsi ekologi primata di alam," katanya.

Menurutnya setelah lolos seleksi untuk dilepasliarkan, baik dari sisi perilaku maupun kesehatan, kemudian monyet ditranslokasi (dipindahkan) ke habitat alaminya untuk menjalani masa habituasi satwa sebelum benar-benar dilepasliarkan ke alam.

Di lokasi pelepasliaran, lanjut Huda, beruk dan monyet ekor panjang akan dimasukkan ke kandang habituasi selama tiga hari untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.

"Setelah itu barulah mereka dikeluarkan dari kandang dan benar-benar lepas ke alam," katanya.

Ia mengatakan pascalepasliar tim dari IAR Indonesia tetap memantau pergerakan mereka di alam sambil mengamati perubahan perilakunya serta perkembangan adaptasi primata tersebut untuk bertahan hidup.

Menurutnya untuk mengembalikan sifat liar beruk dan monyet ekor panjang memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama. Terlebih, satwa tersebut telah lama dipelihara oleh manusia.

"Terlalu lama dekat dengan manusia biasanya perilaku monyet menjadi in-active dan jauh dari sifat liar," kata Huda.

Supervisor Survey Realese Monitoring IAR Indonesia Hilmi Mubarok menambahkan beruk dan monyet ekor panjang yang dilepasliarkan dipasangkan kalung satelit pada satu individu beruk. Pemasang alat tersebut selain mempermudah tim untuk memonitoring, teknologi itu juga berfungsi dalam data pelacakan  titik-titik lokasi keberadaan beruk, yang nantinya titik lokasi tersebut dapat disimpulkan daya jelajahnya.

"Satelit collar akan terpasang selama satu tahun. Data yang dihasilkan akan digunakan sebagai riset guna mengetahui perkembangan adaptasi lingkungan barunya pasca rehabilitasi," kata Hilmi.

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017