Jakarta (ANTARA Newsa) - Keputusan pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang terkait dengan UU nomor 17 tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengundang polemik di parlemen.

Perppu yang dikeluarkan pemerintah memang memerlukan persetujuan DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang dan berlaku menggantikan aturan sebelumnya.

Pro dan kontra seputar dikeluarkannya Perppu itu berkisar pada perubahan mekanisme pembubaran ormas yang semula harus melalui putusan pengadilan menjadi pertimbangan pemerintah melalui kementerian terkait yaitu Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dibahas secara maraton sejak awal Oktober, Komisi II DPR RI yang membahas mengenai hal tersebut melakukan rapat dan pertemuan secara simultan dengan berbagai komponen baik kementerian dan lembaga di pemerintah maupun dengan berbagai kalangan masyarakat.

Setidaknya 22 organisasi kemasyarakatan, 18 ahli dan perseorangan serta menteri agama, kapolri, panglima TNI, jaksa agung dan BNPT diundang oleh Komisi II DPR RI untuk memberikan masukan mengenai Perppu Ormas yang akan ditetapkan menjadi Undang-Undang.

Nama Ismail Yusanto dan Bachtiar Nasir juga masuk ke dalam anggota masyarakat yang diundang, selain juga ormas Islam yaitu Front Pembela Islam (FPI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PGI, Walubi, Persatuan Islam (Persis), dan Al Wasiyah.

Sementara ahli yang diundang yaitu Yusril Ihza Mahendra, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Hendardi, dan Todung Mulya Lubis.

Saat memberikan pendapatnya ada sejumlah pakar yang mengritisi sifat kegentingan memaksa sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dan Refli Harun dalam Rapat menyampaikan hal tersebut.

Pemerintah harus menjalankan "due process of law" (uji hukum) sehingga kalau ada ormas yang dianggap membahayakan negara maka pemerintah bisa mengajukan ke pengadilan namun di Perppu ini tidak ada, kata Yusril saat itu.

Yusril mengatakan sejak tahun 1999 disepakati adanya prinsip "check and balances" sehingga tidak ada eksekutif kuat namun dikeluarkannya Perppu Ormas menghilangkan prinsip tersebut.

Karena itu, dia menilai sangat berbahaya kalau kewenangan membubarkan ormas yang berbadan hukum atau tidak, ada di pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Ia mengatakan kalau ada satu ormas dinilai bertentangan dengan Pancasila, pemerintah bawa ke pengadilan, di sana bisa berdebat dengan argumen masing-masing lalu diputuskan pengadilan.

Yusril mengritisi Pasal 5 ayat 4 Perppu Ormas yang menyebutkan bahwa satu ormas dilarang untuk mengembangkan, meyakini dan menganut paham yang bertentangan dengan Pancasila, namun hal itu dinilainya multitafsir.

Dia mengkhawatirkan kalau ada orang yang ceramah lalu menyebutkan tujuan bernegara untuk mewujudkan negara yang "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur" (negeri yang subur dan makmur, adil dan aman), lalu ditangkap aparat Kepolisian karena bertentangan dengan tujuan pemerintah mewujudkan keadilan sosial.

Sementara itu Pakar hukum tata negara Refli Harun menilai Perppu Ormas menyamakan kegentingan memaksa dengan hak-hak sipil untuk berserikat dan menyatakan pendapat.

Dia menilai kalau kondisi negara darurat maka pemerintah seketika itu bisa membubarkan ormas namun kalau tidak dalam kondisi darurat maka "due proces of law" harus dijalankan.

Refli menyarankan agar Komisi II DPR menolak Perppu Ormas namun diajukan revisi UU nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas oleh DPR atau pemerintah dengan substansi bahwa pembubaran ormas dalam kondisi biasa harus melalui "due process of law".

Dari kalangan ormas Islam yang diundang hadir, beberapa secara tegas menolak Perppu tersebut karena tidak ada alasan kuat dikeluarkannya aturan tersebut.

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Muhammad Shiddiq mengatakan penetapan Perppu Ormas tidak beralasan karena tidak ada ancaman yang nyata bagi negara seperti perang dan tidak ada bencana alam sehingga penyelenggaraan negara terganggu.

Dia menjelaskan dalam Pasal 5 ayat 4 Perppu Ormas yang menyebutkan bahwa satu ormas dilarang untuk mengembangkan, meyakini dan menganut paham lain yang bertentangan dengan Pancasila, namun hal itu dinilainya multi tafsir.

Shiddiq mengkhawatirkan frase "paham lain" digunakan untuk membungkam ormas-ormas yang kritis dan berbeda pendapat dengan pemerintah karena pemaknaannya sangat luas.

Ketua Umum Persatuan Umat Islam (PUI) Nazar Haris dalam RDPU itu mengatakan seharusnya pemerintah melihat lebih rinci paham lain yang mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut dia, kebijakan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa "due process of law" karena mengusung ide khilafah, merupakan langkah tidak tepat.


Perdebatan antarfraksi

Perdebatan antaranggota Komisi II DPR RI yang berasal dari 10 fraksi juga tak kalah sengit.

Bahkan pengambilan keputusan dalam rapat tanggal 20 Oktober dibatalkan mengingat masih banyak silang pendapat yang terjadi.

Penundaan itu karena beberapa fraksi harus berkoordinasi dahulu dengan partainya masing-masing sehingga dilaksanakan tiga hari kemudian.

Ketua Komisi II Zainuddin Amali menjelaskan seluruh Ketua Kelompok Fraksi di Komisi II DPR sudah mengadakan rapat internal dan sepakat agar keputusan diambil secara musyawarah dan mufakat.

Menurut dia, ada beberapa fraksi yang meminta waktu untuk berkonsultasi dengan pimpinan partai dan anggota fraksinya yang lain karena keputusan sifatnya mengikat.

Dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I, sebanyak tujuh fraksi di DPR RI sepakat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Ormas dibawa ke rapat paripurna untuk disetujui menjadi undang-undang.

Dari tujuh fraksi tersebut, lima fraksi setuju secara bulat, Perppu Ormas dibawa ke rapat paripurna untuk disetujui menjadi undang-undang, yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, serta Fraksi Hanura, sedangkan dua fraksi lainnya, yakni PPP dan Partai Demokrat dapat menyetujui Perppu Ormas menjadi undang-undang dengan catatan langsung dilakukan revisi pada beberapa hal.

Kemudian, tiga fraksi lainnya yakni Gerindra, PKS, dan PAN, menyatakan menolak Perppu Ormas disetujui menjadi undang-undang.

Fraksi Partai Demokrat menyatakan setuju jika Perppu tersebut segera direvisi setelah disetujui menjadi undang-undang, sebaliknya menolak jika Perppu Ormas hanya disetujui menjadi undang-undang tapi tidak direvisi.

Proses yang alot juga terjadi saat Sidang Paripurna yang mengagendakan pengambilan keputusan pengesahan Perppu menjadi UU Ormas.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon yang memimpin rapat paripurna membuka ruang interupsi kepada forum setelah Ketua Komisi II DPR RI Zainuddin Amali menyampaikan laporan Komisi II.

Ketua Komisi II DPR RI Zainuddin Amali menyampaikan laporan keputusan tingkat I tentang Perppu Ormas, yakni sebanyak tujuh fraksi sepakat Perppu Ormas dibawa ke rapat paripurna untuk disetujui menjadi undang-undang.

Menurut Zainuddin dari tujuh fraksi tersebut, sebanyak empat fraksi sepakat Perppu Ormas disetujui menjadi undang-undang, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Nasdem, dan Fraksi Hanura.

Tiga fraksi lainnya yakni, PKB, PPP, dan Fraksi Partai Demokrat memiliki pandangan sepakat Perppu Ormas dibawa ke paripurna untuk disetujui menjadi undang-undang dengan catatan segera dilakukan revisi.

Kemudian, tiga fraksi lainnya, yakni Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKS, dan Fraksi PAN, berpandangan menolak Perppu Ormas sehingga tidak perlu dibawa rapat paripurna.

Menurut Zainuddin dengan komposisi tujuh fraksi sepakat tersebut, maka Komisi II memutuskan membawa Perppu Ormas pada pembicaraan tingkat II di rapat paripurna.

Setelah Zainuddin Amali menyampaikan laporan Komisi II, Fadli Zon kemudian membuka ruang interupsi dengan mempersilakan kepada anggota DPR RI yang hadir untuk menyampaikan interupsinya.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Sodik Mujahid langsung mengangkat tangan dan menyampaikan interupsinya.

Menurut Sodik, Perppu Ormas yang diterbitkan Presiden ini kurang sejalan dengan demokrasi yang ditegakkan di Indonesia.

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Sutriyono mengatakan Fraksi PKS berpandangan, pasal-pasal dalam Perppu Ormas rawan disalahtafsirkan karena ada beberapa pasal karet yang multitafsir.

Pasal karet tersebut, kata dia, rawan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Karena itu, Fraksi PKS menyampaikan sikapnyan menolak Perppu Ormas, karena menilai tidak sejalan dengan konstitusi dan UU terkait.

Anggota DPR RI dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain mengatakan UU Ormas dibuat untuk mengelola kebebasan warga negara sesuai dengan iklim demokrasi.

Dalam iklim demokrasi, kata dia, kebebasan adalah bertanggung jawab dan saling menghargai, bukannya malah merugikan kebebasan orang lain.

Malik menambahkan, Fraksi PKB juga menyampaikan catatan, Perppu Ormas agar disetujui dengan perbaikan azas terhadap ormas, agar dalam UU Ormas mengatur secara tegas, bahwa Ormas mencantumkan azas Pancasila.

Akhirnya melalui sebuah pemungutan suara terbuka, Perppu Ormas tersebut disetujui untuk menjadi Undang-Undang namun dengan adanya jaminan bahwa akan dilakukan revisi terhadap beberapa pasal yang dinilai berpotensi menjadi pasal karet dan bisa melanggar hak untuk berserikat.

Dari titik ini, sepertinya perjalanan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan masih akan panjang dan berliku, meski perppu yang dikeluarkan pemerintah telah ditetapkan menjadi undang-undang.

(T.P008/T007)

Oleh Panca Hari Prabowo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017