Jakarta (ANTARA News) - Pakar tata kota dan arsitek, Marco Kusumawijaya, mengatakan, perpindahan dari rumah tapak ke rumah susun di Jakarta terkesan tanpa transisi sehingga yang dibangun adalah apartemen yang sangat tinggi di berbagai lokasi ibukota.

"Kita harus berhati-hati menerapkan konsep hunian yang bersifat vertikal," kata Kusumawijaya, di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, patut dipertanyakan mengapa seakan-akan penerapan hunian vertikal terkesan "meloncat" dari rumah tapak ke apartemen setinggi hingga puluhan lantai.

Padahal, lanjutnya, hal yang terbaik adalah membangun rumah susun yang tidak terlalu tinggi, atau rata-rata hanya 4-8 lantai, seperti yang terdapat di sejumlah kota kontinental benua Eropa.

Kusumawijaya yang juga menjabat sebagai direktur Rujak Center for Urban Studies itu juga mengemukakan, kelemahan hunian vertikal yang sangat tinggi selain harga pembangunannya yang lebih mahal, juga bakal lebih rentan terhadap aksi spekulan dari mereka yang berkecimpung dalam jual beli properti.

Sebelumnya, konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) menyatakan pasar kondominium atau hunian vertikal pada saat ini cukup stabil dan masih menunjukkan pergerakan yang cukup aktif di kelas menengah ke bawah.

"Aktivitas penjualan pasar kondominium secara umum berada di tingkat yang cukup stabil selama enam bulan terakhir," kata Head of Residential JLL Indonesia, Luke Rowe, dalam paparan properti yang digelar di Jakarta, Rabu (11/10).

Menurut dia, hal itu terlihat antara lain dari tingkat serapan yang rata-rata tetap berada di angka 64 persen.

Selain itu, ujar dia, para pengembang juga dinilai masih cukup aktif dalam meluncurkan kondominium baru di Jakarta Pusat, Barat, dan Utara. Peluncuran tersebut, lanjutnya, tidak hanya untuk kelas menengah ke bawah, tetapi juga mulai diluncurkan untuk kondominium kelas atas.

Sebelumnya, kebijakan terkait suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mesti benar-benar diperhatikan dengan baik karena hal itu berpotensi untuk menggairahkan kinerja properti untuk pembelian atau penjualan apartemen.

"Untuk kelas menengah ke bawah, perhatian utama mereka adalah terkait daya beli baik untuk memenuhi uang muka atau mencicil kredit setiap bulan. Jadi faktor suku bunga perbankan sangat penting dan sangat mempengaruhi mereka," kata Senior Associate Director Research Colliers International, Ferry Salanto, dalam paparan properti yang digelar di Jakarta, Selasa (3/10).

Apalagi, dia juga mengingatkan bahwa untuk 2017 ini jumlah pembeli perumahan, baik apartemen maupun rumah tapak, jumlah yang membeli menggunakan KPR lebih besar dibandingkan beberapa tahun lalu.

Pewarta: Muhammad Rahman
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017