Jakarta (ANTARA News) - Atase Imigrasi Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur 2013-2016 Dwi Widodo divonis 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima fee sebesar Rp524,35 juta, voucher hotel senilai Rp10,807 juta serta 63.500 ringgit (sekitar Rp197 juta) sebagai imbalan pengurusan calling visa dan pembuatan paspor dengan metode reach out.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Dwi Widodo terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan dakwaan kedua pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp150 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," kata ketua majelis hakim Diah Siti Basariah dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.

Vonis itu lebih rendah dibanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Dwi Widodo 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 12 huruf b jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 65 ayat 1 KUHP.

Majelis hakim yang terdiri dari Diah Siti Basariah, Ibnu Basuki Widodo, Hastoko, Sofialdi dan Agus Salim juga menyepakati agar Dwi tidak dibebankan uang pengganti sebesar Rp535,1 juta dan 27.400 ringgit Malaysia seperti permintaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK.

"Majelis menghubungkan dengan pembelaan terdakwa yang mengatakan bahwa dalam perkara a quo tidak ada kerugian keuangan negara maka dari itu terdakwa tidak dapat dihukum untuk mengganti kerugian keuangan negara," kata anggota majelis hakim Sofialdi.

Penyebabnya, hakim menilai seseorang baru bisa dikenai pidana uang pengganti kerugian negara berdasarkan Pasal 18 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/2001 diisyaratkan harus ada kerugian negara.

"Menimbang berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan bukti-bukti di persidangan diperoleh fakta bahwa benar atas perbuatan terdakwa tidak menimbulkan kerugian negara keuangan negara sehingga terdakwa tidak perlu dibebankan uang pengganti keuangan negara tersebut," tambah hakim Sofialdi.

Hakim pun berbeda pendapatnya dengan JPU yang menilai bahwa penerimaan uang itu tergolong 2 jenis perbuatan, namun hakim menilai perbuatan Dwi Widodo digolongkan sebagai satu jenis perbuatan yang dilakukan berlanjut sebagaimana pasal 64 ayat 1 KUHP.

"Terdakwa menerima Rp524,3 juta dan voucher hotel Rp10,8 juta dari pembuatan calling visa dan 63.500 ringgit Malaysia untuk pembuatan reach out paspor sebagai gabungan beberapa perbuatan sebagaimana pasal 65 ayat 1 KUHP. Majelis berpendapat penerimaan uang dan voucher berasal dari suatu kehendak yang dilarang dan dilakuakn berturut-turut dalam waktu tidak lama antara penerimaan pertama dan berikutnya yaitu November 2015 hingga Juli 2016 dan merupakan perbuatan sejenis sehingga perbuatan terdakwa dikualifikasi sebagai perbuatan berlanjut berdasarkan pasal 64 ke-1 sehingga pasal 65 ayat 1 tidak terbukti," tambah hakim Sofialdi.

Dwi Widodo sebagai Atase Imigrasi KBRI di Kuala Lumpur pada 2013-2016 menerima hadiah seluruhnya berjumlah Rp524,35 juta, vocher hotel senilai Rp10,807 juta sebagai imbalan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen permohonan calling visa di KBRI Kuala Lumpur dari negara-negera rawan.

"Calling visa" adalah persetujuan visa oleh Dirjen Imigrasi atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan hasil penilaian terhadap permohonan warga negara asing dari negara tertentu yang ditetapkan oleh tim yang ditunjuk ditinjau dari aspek-aspek sosial, politik, keamanan negara dan keimigrasian.

Pemberian itu berasal dari pertama, PT Anas Poliang Jaya milik Nazwir Anas selama 2014-2016 untuk 143 pemohon dengan imbalan imbalan Rp73,5 juta. Kedua, PT Trisula Mitra Sejahtera dengan direktur Lenggara Latjuba untuk pembuatan calling visa bagi 16 orang warga negara Kamerun, Nigeria dan Somalia yang berprofesi sebagai pedagang dan mendapatkan imbalan Rp27,8 juta.

Ketiga, dari Mahamadou Drammeh selaku Presiden direktur PT Sandugu International karena Dwi mengerjakan 108 calling visa imbalan sebesar Rp245,3 juta. Keempat, dari Direktur PT Rasulindo Jaya Ali Husain Tajibally selama 2013-2014 untuk pengerjaan "calling visa" 42 pemohon, pada 2015 untuk 65 pemohon dan 2016 untuk 40 pemohon yang imbalannya berupa voucher hotel senilai Rp10,807 juta.

Kelima, dari Abdul Fatah selaku Direktur PT Atrinco Mulia Sejati 706 pemohon yang memberikan imbalan senilai total Rp7,5 juta kepada Dwi. Keenam, dari Temi Lukman Winata yaitu Direktur PT Afindo Prima Utama karena Dwi mengurus 9 warga dengan imbalan Rp2,5 juta. Ketujuh, dari Anwar selaku direktur PT Alif Asia Afrika karena Dwi mengurus 130 permohonan dengan imbalan sebesar Rp145,45 juta.

Para pemohon calling visa melalui perusahaan-perusahaan penjamin itu ternyata berprofesi sebagai pedagang, bukan dosen/pengajar, mahasiswa, tenaga ahli, penanam modal/invesgtor maupun pekerjaan tingkat manajer tapi terdakwa tetap mengeluarkan berita faksimile (brakfas).

Selanjutnya Dwi Widodo juga menerima imbalan dari layanan keimigrasian "reach out" yaitu metode pelayanan pengurusan paspor kepada TKI yang berada di Malaysia karena paspornya hilang, rusak atau tidak memiliki paspor yang dilakukan di luar KBRI Kuala Lumpur.

Dwi melakukannya bekrja sama dengan mantan pegawai KBRI Kuala Lumpur Sayta Rajasa Pane yang sudah diberhentikan pada 2015 karena terlibat dalam percaloan. Satya dengan bantuan Darwinsyah bin Sultan Syahbuddin menggunakan perusahaan Malaysia milik Mohd Rizal bin Mohd Yusof bernama Euro Jasmine Resource, Sdn. Bhd sebagai perusahaan pemohon pelaksanaan reach out untuk menutupi proses percaloan seolah-olah perusahaan itu sebagai syarikat yang mempekerjakan para TKI pemohon paspor.

Dwi dan personel pegawai melaksanakan reach out pelayana paspor di restoran Mak Mah Port Dickson Negeri Sembilan pada 21 Mei 2016 terhadap 158 orang TKI yang sebagian besar bekerja di sektor restoran dan konstruksi namun karena dilakukan penggerebekan oleh tim dari Suruhan Jaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) atau Malaysia Anti Corruption Commission (MACC) sehingga Dwi hanya bisa mengurus paspor untuk 97 orang.

Dwi lalu menerima uang dari Satya Rajasea seluruhnya 63.500 ringgit malaysia dengan rincian: 9.750 ringgit untuk kepentingan pribadinya, 14.250 ringgit untuk kepentingan Sayta Rajasa dan untuk Tunjangan Hari Raya 82 orang pegwai KBRI Kuala Lumpur sebanyak 39.500 ringgit, termasuk di dalamnya untuk Dwi sebesar 2.000 ringgit.

Atas vonis itu, baik Dwi Widodo maupun JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017