Jangan sembarang menerima pemberian, demikian nasihat orang-orang tua dulu, tapi kau terlanjur meminta paket itu: hadiah sekaligus kutukan. Iblis Kekasih telah memberimu sepasang sepatu merah.

...

Kuperingatkan dirimu, sepatu ini adalah sepatu terkutuk.

Kau terkutuk untuk bertualang, atau lebih tepatnya, gentayangan. Bernaung, tapi tak berumah.


Kutipan tersebut diambil dari prolog buku "Gentayangan", karya terbaru Intan Paramaditha. Mengambil sudut pandang orang kedua, novel ini bercerita tentang seorang perempuan yang membuat kesepakatan dengan iblis agar bisa bertualang, tanpa ingin pulang.

Si perempuan yang bekerja sebagai guru di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris di Jakarta merasa bosan dengan hidupnya sekaligus prihatin karena di usianya yang hampir 28 tahun, ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di luar Indonesia.

Lahir dan dibesarkan dari keluarga yang biasa saja, perempuan tersebut selalu menganggap "luar negeri" adalah istilah yang mewah.

Sejak sekolah hingga kuliah ia tidak pernah mendapat keberuntungan seperti teman-temannya yang berasal dari keluarga kaya atau yang mendapat beasiswa, untuk dengan mudah pergi jauh dan mengeksplorasi dunia.

Setelah menyepakati kontrak dengan iblis, petualangan terkutuk sepatu merah bisa membawa si perempuan ke New York kota tikus, perbatasan Tijuana di Meksiko, gereja di Haarlem, masjid di Jakarta, atau di dalam taksi pengap---tergantung pada setiap keputusan yang ia ambil dalam perjalanan.

Penulis Intan Paramadhita dan novel keduanya, "Gentayangan". (ANTARA/Yashinta Difa)

Pilih sendiri petualanganmu

Jika Anda pernah membaca serial "Choose Your Own Adventure" keluaran penerbit Amerika, Bantam Books, yang diterjemahkan ke Indonesia sebagai serial "Pilih Sendiri Petualanganmu" oleh Penerbit Gramedia, medio tahun 1980-an, maka Anda akan merasa cukup familiar dengan format yang diterapkan Intan dalam "Gentayangan".

Format "pilih sendiri petualanganmu" itulah yang membedakan "Gentayangan" dengan novel lain. Kata ganti "kau" yang digunakan untuk merujuk pada si protagonis perempuan terasa sangat komunikatif saat dibaca.

Saat membaca karya ini pembaca diajak ikut bertualang bersama sepasang sepatu merah, membuat pilihan-pilihan dengan konsekuensi dan akhir cerita berbeda.

Di akhir setiap bab penulis menyediakan beberapa opsi seperti jika pembaca ingin membatalkan perjalanan dan kembali ke rumah di New York silakan buka halaman selanjutnya, tetapi pembaca bisa juga memilih meneruskan perjalanan ke Berlin dengan langsung meloncat ke halaman 33.

Total terdapat 11 plot dengan 15 akhir cerita berbeda yang bisa ditelusuri pembaca. Di halaman terakhir buku disediakan halaman khusus untuk memudahkan pembaca mencatat akhir cerita apa saja yang sudah ia tempuh.

Sebagai penulis Intan mengaku tertarik untuk membuat format cerita "pilih sendiri petualangmu" karena pengaruh bacaannya di masa kecil yaitu serial buku "Anne of Green Gables" karya L.M. Montgomery.

"Tetapi kalau dibandingkan dengan buku Montgomery atau serial Goosebumps, petualangan dalam novel ini tidak selalu heboh atau menegangkan. Ini redefinisi atas petualangan sebetulnya, bahwa petualangan bisa saja berakhir membosankan," ujar Intan.

Dari belasan akhir cerita yang ditulisnya, Intan mengaku paling menyukai akhir yang terinspirasi dari puisi penyair Amerika, Anne Sexton.

"Intinya bahwa setiap gadis yang memakai sepatu merah, mereka akan naik sebuah kereta yang tidak akan berhenti," tuturnya.

Sepatu merah yang dikenakan penulis Intan Paramadhita, dalam peluncuran novel keduanya di sela-sela rangkaian Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Ubud, Bali, Kamis (26/10/2017). (ANTARA/Yashinta Difa)

Sepasang sepatu merah dalam "Gentayangan" memiliki peran penting sebagai simbol hasrat, ide mobilitas, dan pergerakan yang sering digunakan dalam karya sastra, film, maupun musik.

Selain kumpulan cerita Hans Christian Andersen berjudul "The Red Shoes", Intan juga terinspirasi dari kisah Dorothy Gale dalam "The Wonderful Wizard of Oz " karya L. Frank Baum.

"Dalam kedua cerita itu sepatu merah menyimbolkan hasrat perempuan untuk bertualang," kata dia.


Berpikir kritis

Intan Paramaditha hidup berpindah kota dan negara selama lebih dari satu dekade. Setelah meraih gelar master dari University of California, San Diego, ia melanjutkan pendidikan doktor bidang Cinema Studies di New York University pada 2007-2016.

Pengalaman yang ia temui selama tinggal di AS memengaruhi penulisan novel "Gentayangan" yang diluncurkan secara resmi pada 26 Oktober 2017 di sela-sela penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival di Bali.

"Cerita orang-orang yang saya temui dalam perjalanan sangat menarik. Mereka adalah subjek yang digerakkan oleh dunia, mereka tercerabut dari rumah dan budayanya dan karena itu berusaha menciptakan negosiasi antara tempat dimana ia berada dengan asalnya," kata Intan.

Pemenang penghargaan cerita pendek terbaik Kompas tahun 2013 itu sempat lama tinggal di Queens, New York, dimana ia bertemu orang-orang dari berbagai negara dan latar belakang budaya.

Jauh dari kesan glamor dan bersih yang sering digambarkan tentang New York selama ini, Queens menyimpan kisah-kisah menarik tentang bagaimana pendatang asal China bisa bertahan meski tidak bisa berbahasa Inggris atau bagaimana imigran dari Meksiko dengan berani menyeberang ke AS tanpa dokumen resmi.

Lewat "Gentayangan", Intan juga mengajak pembacanya berefleksi atas makna perjalanan itu sendiri, hubungan antarnegara, dan posisi subjek dalam dunia yang berbeda.

Perjalanan, menurut Intan, adalah gagasan yang jauh dari sempurna atau penuh romantisme. Perjalanan juga memunculkan isu hubungan kekuasaan, nasionalisme, rumah, dan kewarganegaraan.

Intan secara khusus menyoroti tentang keistimewaan yang dimiliki penduduk negara maju yang bisa lebih mendapat akses untuk menembus batas-batas negara, dibandingkan penduduk negara ketiga seperti Indonesia.

Bahkan dengan gamblang penulis berusia 37 tahun itu menyatakan kebenciannya pada film "Eat, Pray, Love" yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Elizabeth Gilbert.

Film yang dibintangi aktris Julia Roberts dan menggunakan Bali sebagai salah satu latar tempatnya ini, menurut Intan, menunjukkan dengan jelas betapa enaknya perempuan kulit putih bepergian ke berbagai tempat eksotis di saat banyak orang di negara berkembang berjuang untuk mendapat kesempatan itu.

"Sebagai pemegang paspor Indonesia, saya bisa katakan tidak mudah gentayangan menembus batas-batas negara," kata dia.

Penulis Intan Paramadhita (kiri) menandatangani eksemplar novel keduanya, "Gentayangan". (ANTARA/Yashinta Difa)

Kerap mengangkat persoalan gender, seksualitas, dan budaya dalam karya-karyanya, Intan sengaja memilih protagonisnya sebagai perempuan yang berani menembus batasan-batasan dengan mempertanyakan tujuan hidupnya.

Intan Paramaditha dikenal pembaca sastra Indonesia lewat kumpulan cerita pendek "Sihir Perempuan" (2005) yang masuk nominasi pendek Khatulistiwa Literary Award pada tahun yang sama serta "Kumpulan Budak Setan" (2010), proyek kumpulan cerita horor bersama Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad, yang didedikasikan untuk penulis novel horor misteri Abdullah Harahap.

Sejak 2016 hingga kini, ia menetap di Sydney, Australia, dan bekerja sebagai dosen Kajian Media dan Film di Macquarie University.

Oleh Yashinta Difa
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017