Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap menghadapi praperadilan yang diajukan Irfan Kurnia Saleh, tersangka tindak pidana korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI Angkutan Udara Tahun 2016-2017.

"Hari ini, tim Biro Hukum KPK melakukan koordinasi dengan para penyidik POM TNI untuk hadapi dan siapkan praperadilan yang diajukan Irfan Kurnia Saleh dalam kasus helikopter AW 101," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.

Febri menyatakan bahwa kerja sama dengan TNI merupakan salah satu langkah KPK meningkatkan efisiensi pemberantasan korupsi.

"Terutama karena ada komitmen dari Panglima TNI dan jajarannya untuk melakukan perbaikan bersama," kata Febri.

Menurut Febri, salah satu aspek yang dipersoalkan adalah mekanisme koneksitas dalam penanganan perkara yang diduga melibatkan sipil dan militer sehingga perlu koordinasi KPK dan POM TNI.

"Padahal mengacu pada keterangan Panglima TNI saat melakukan konferensi pers di KPK, kerja sama dalam penanganan perkara dugaan korupsi pengadaan Heli AW-101 ini merupakan salah satu fokus dari Panglima TNI sebagai bagian dari komitmen pemberantasan korupsi di TNI," tuturnya.

Sedangkan, kata dia, KPK dan TNI mengusut kasus tersebut menggunakan mekanisme khusus, yaitu Pasal 42 Undang-Undang KPK.

"Koordinasi lebih rinci akan dilakukan minggu depan dalam rangka menghadapi sidang praperadilan yang direncanakan dilakukan 3 November 2017 nanti," ucap Febri.

Sebelumnya, POM TNI menetapkan lima tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI Angkutan Udara Tahun 2016-2017.

Lima tersangka itu, yakni anggota TNI AU yaitu atas nama Kolonel Kal FTS SE sebagai Kepala Unit Pelayanan Pengadaan, Marsekal Madya TNI FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa, Letkol admisitrasi WW selaku pejabat pemegang kas atau pekas, Pelda (Pembantu letnan dua) SS staf pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, dan Marsda TNI SB selaku asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara.

KPK juga menetapkan satu orang tersangka dari unsur swasta dalam penyidikan kasus tersebut, yakni Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh.

Irfan Kurnia Saleh diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU Tahun 2016-2017.

Akibatnya, diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar.

Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelumnya, pada April 2016, TNI AU mengadakan pengadaan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus, yang artinya proses lelang harus diikuti oleh dua perusahaan peserta lelang.

Irfan Kurnia Saleh selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri juga diduga sebagai pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikuti proses pemilihan dengan menyertakan kedua perusahaan tersebut.

KPK menduga sebelum proses lelang dilakukan, tersangka Irfan Kurnia Saleh sudah melakukan perikatan kontrak dengan AgustaWestland sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak sekitar Rp514 miliar.

Pada bulan Juli 2016 dilakukan penunjukan pengumuman, yaitu PT Diratama Jaya Mandiri dan dilanjutkan dengan kontrak antara TNI AU dengan PT DJM dengan nilai kontrak Rp738 miliar. Pengiriman helikopter dilakukan sekitar bulan Februari 2017.

PT Diratama Jaya Mandiri adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa peralatan militer non-senjata yang juga memegang lisensi dari Amerika Serikat untuk terlibat dalam bisnis di bawah Peraturan Kontrol Ekspor peralatan militer dari AS dan Lisensi (Big Trade Business Licence "SIUP").

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017