Canberra (ANTARA News) - Dewan Taman Nasional Uluru-Kata Tjuta Australia sepakat melarang turis mendaki salah satu ikon Australia berbentuk batu besar bernama Uluru.

Keputusan bersejarah tersebut diumumkan oleh dewan pengurus, yang terdiri dari delapan pemilik lahan adat dan tiga perwakilan dari Taman Nasional.

Mendaki batu, yang dianggap sakral oleh orang-orang Anangu dan banyak suku asli, akan dilarang pada Oktober 2019 dan seterusnya.

Para pengunjung Uluru, yang juga dikenal sebagai Batu Ayers, telah dinasihati bahwa orang-orang Aborigin lebih suka mereka tidak memanjat batu selama beberapa dekade, namun masih diperbolehkan melakukan perjalanan jika mereka menginginkannya.

Sammy Wilson, ketua dewan pengurus dan pemilik tradisional situs tersebut, mengatakan dalam sambutannya kepada dewan bahwa situs tersebut memiliki makna budaya yang dalam.

"Beberapa orang di bidang pariwisata dan pemerintahan misalnya mungkin telah mengatakan bahwa kita perlu merahasiakannya tapi bukan hukum mereka yang berada di tanah ini," kata Wilson.

"Ini adalah tempat yang sangat penting, bukan taman bermain atau taman hiburan seperti Disneyland,” tambahnya.

"Keputusan ini membuat suku Anangu dan Non-Anangu merasa bangga, untuk menyadari, tentu saja ini adalah hal yang benar untuk menutup 'taman bermain’,” tandasnya.

Larangan pendakian akan dimulai pada 26 Oktober 2019, yang menandai 34 tahun sejak kepemilikan situs tersebut dikembalikan ke pemilik tradisionalnya.

Pendakian batu, yang terletak lebih dari 1.500 kilometer utara Adelaide di Australia Tengah itu, dimulai pada 1930-an, namun tidak ada pagar sampai 1966.

Setidaknya ada 36 kematian orang yang mendaki situs ini sejak tahun 1950an dan 74 pertolongan dilakukan kepada orang-orang yang membutuhkan perhatian medis antara tahun 2002 dan 2009 saja.

Pada tahun, sekitar 16,2 persen pengunjung mendaki Uluru, angka tersebut turun dari 38 persen 2010, menurut data Pertamanan Australia.

Berdasarkan peraturan saat ini, dewan Taman Nasional Uluru-Kata Tjuta hanya bisa memilih untuk menutup kawasan batu tersebut saat kurang dari 20 persen pengunjung melakukan pendakian.

David Ross, Direktur Dewan Pertanahan Pusat, menggambarkan keputusan tersebut sebagai "mengoreksi kesalahan yang bersejarah”.

"Keputusan ini telah lama sekali datang dan pikiran kita ada pada para tetua yang telah merindukan hari ini tapi tidak lagi bersama kita untuk merayakannya," Ross mengatakan kepada Fairfax Media, Kamis.

Keputusan untuk melarang pendakian terjadi setelah puluhan tahun Penduduk Asli Australia tersinggung oleh perilaku orang-orang yang memilih untuk mendaki batu tersebut.

Saat larangan mendaki diumumkan, tiga turis yang diselamatkan setelah menyimpang dari jalur pendakian yang ditentukan pada 2016 menghadapi pengadilan Alice Springs, di mana kasus mereka ditunda.

Dalam pidatonya, Wilson mengatakan bahwa orang-orang Anangu merasa tertekan karena pendakian itu selama beberapa dekade.

"Selama bertahun-tahun, Anangu merasakan intimidasi, seolah ada yang memegang pistol ke kepala kita agar tetap terbuka," katanya.

"Tanah ini memiliki hukum dan budaya. Kami menyambut wisatawan disini. Menutup pendakian bukan sesuatu yang perlu dikeluhkan, tapi untuk dirayakan,” pungkasnya. Demikian dilansir Kantor Berita Xinhua.

Penerjemah: Sella Panuarsa Gareta
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017