Jakarta (ANTARA News) - Sutradara kenamaan Shunji Iwai sudah meninggalkan berbagai jejak di industri kreatif Negeri Sakura, mulai dari video klip, drama televisi, film, dokumenter hingga animasi. 

Tahun lalu, sutradara "The Bride of Rip Van Winkle" itu mendapat kehormatan di Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) sebagai "Director in Focus" di mana lima filmnya diputar secara khusus. 

Kali ini, pria 54 tahun itu kembali lagi TIFF 2017 dengan film "Hana and Alice" yang dibintangi oleh Aoi Yu, salah satu muse untuk festival tersebut.

Berikut perbincangan eksklusif ANTARA News dengan Shunji Iwai di Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) 2017, Senin (30/10),
seputar film hingga pulau Bali yang pernah ia kunjungi


Film Anda biasanya punya open ending, mengapa? Sengaja menyerahkannya pada imajinasi penonton?

Kira-kira seperti itu, memang begitulah gaya saya.

"Hana and Alice", yang pertama tayang 13 tahun lalu, kembali diputar di TIFF 2017, membuat bioskop dipenuhi oleh orang-orang yang bernostalgia menonton kisah cinta segitiga masa remaja.

Dua tahun lalu, Shunji Iwai menyuguhkan film animasi prekuel "Hana and Alice".

Anda pernah membuat prekuel animasinya, ada rencana membuat sekuel versi Hana dan Alice dewasa?

Saya tidak punya rencana soal itu.


Sejak menonton "Hana and Alice" beberapa tahun lalu, saya penasaran dengan akhir filmnya. Menurut Anda, siapa yang akan dipilih Masashi, Hana atau Alice?

Saya benar-benar tidak tahu, semuanya tergantung dari imajinasi tiap penonton.


Bagaimana dengan imajinasi Anda?

Saya tidak tahu... (terdiam) Tapi yang saya bayangkan, mereka tetap bersama, tapi itu cuma imajinasi saya saja ya. Lalu setelah itu mereka berpisah, itu juga cuma bayangan saya saja. Sedangkan soal (hubungan) Hana dan Alice, saya juga tidak yakin mereka masih bersahabat baik setelah (ending yang ditunjukkan di) film.


Pernah nonton film Indonesia?

Saya tidak yakin, saya pernah menonton beberapa film Asia, tapi sepertinya belum pernah nonton film Indonesia. Tapi saya ingin sekali menonton. 


Ada lho film kolaborasi Indonesia - Jepang, contohnya "Killers" (film garapan The Mo Brothers yang dibintangi oleh Oka Antara dan Kazuki Kitamura). Lalu ada juga sutradara Jepang  Koji Fukada yang sedang membuat "Umi wo Kakeru" dengan latar belakang Aceh, Indonesia.

Ooh..


Anda tertarik juga?

Iya, saya ingin sekali. Salah satu produser Jepang yang sepuluh tahun lalu bekerja di kantor saya sebenarnya sedang berencana membuat proyek kolaborasi Indonesia - Jepang. Saya mendukungnya, kami banyak ngobrol soal itu. Harusnya sih film itu akan tayang 2-3 tahun lagi.


Ngomong-ngomong, apa saja yang Anda tahu soal Indonesia?

Saya tidak tahu banyak (soal Indonesia), tapi saya tahu populasinya banyak. Pulaunya juga ada banyak sampai-sampai pemerintahnya tidak tahu persis berapa jumlah persisnya (tertawa).


Kapan-kapan main ke Indonesia ya, mungkin Anda suka Bali?

Saya sudah pernah ke Bali.


Berarti Anda sudah ke Indonesia dong, Bali itu kan bagian dari Indonesia?

Oh ya? Bali itu Indonesia? Berarti saya sudah pernah ke Indonesia. Bali itu tempat yang indah sekali.


Apa saja yang Anda suka dari Bali?

Saya suka desanya, Ubud. Banyak seniman di sana yang suka melukis, sungguh bagus. Juga tariannya, tari Legong. Saya masih ingat nama penari cilik yang menarikan itu. Namanya Kadi Wartini . Umurnya baru sepuluh tahun tapi kemampuan tarinya brilian.


Anda pernah menyutradarai film animasi, film dokumenter dan film fiksi. Mana yang paling disukai?

Film saya yang berikutnya itu live action (bukan animasi), jadi yang paling saya suka itu live action. Ketika saya sedang mengerjakan suatu proyek, saya merasa "ini yang terbaik".


Kalau begitu, mana yang paling susah?

Tentu saja animasi. Sebab kita harus menggambar gambar untuk tiap frame, berat sekali.


Anda juga pernah menyutradarai film bahasa Inggris, "Vampire" dan "New York, I Love You". Pemainnya juga bukan orang Jepang. Apa bedanya dengan menyutradarai film Jepang?

Kadang-kadang film berbahasa Jepang terasa lebih mudah ketimbang film berbahasa Inggris karena saya bisa memahami betul apa yang diucapkan sang aktor. Pada film berbahasa Inggris, sulit untuk mengecek bahasanya, jadi saya menyerahkan hal itu pada pelatih akting.

Jadi saya bisa fokus pada kamera, pencahayaan dan set. Jadi saya bisa bagi-bagi tugas, khusus untuk bagian dialog saya minta orang lain yang mengerjakannya. Saya serahkan pada coach actor. Bagi saya, kadang hal itu bagus juga. 


Selain bahasa, ada lagi perbedaannya? 

Tentu saja bahasa berbeda-beda, tapi perasaan dan emosinya tentu sama saja. Itulah mengapa film bisa (dinikmati secara) internasional. Jika membuat film dengan orang dari negara lain, yang harus kau lakukan adalah membuat yang standar....sudut pandang internasional, itu saja. Jangan angkat isu yang terlalu lokal karena akan membuat semuanya lebih sulit (diterima).


Ada rencana lagi membuat film internasional?

Iya, tentu saja. Saya sudah berdiskusi dengan produser dari China, Korea, Amerika, kadang-kadang orang Eropa. Tapi tantangan terbesar saya kelak adalah membuat film dengan orang Timur Tengah, Afrika dan Amerika Selatan.

Membuat film memberikan saya banyak pengalaman. Setiap kali membuat film, saya berharap bisa mendapatkan pengalaman baru. Bagi saya, sungguh menarik bekerja sama dengan negara lain. 


Adakah isu menarik yang sedang Anda pikirkan untuk dituangkan dalam film?

Itulah yang selalu saya cari. Tema dalam film itu bisa cukup samar sebelum filmnya selesai. Kadang temanya masih samar meski saat filmnya sudah rampung. Jadi, setiap kali membuat film, saya selalu berpikir tema apa yang akan diangkat. Hal itu cukup sulit, bahkan untuk saya, tak mudah menemukan tema.


Lalu bagaimana cara Anda mendapatkan inspirasi?

Biasanya (mencari inspirasi) saat saya duduk di depan komputer. Tapi terkadang saya mendapat inspirasi ketika sedang berjalan-jalan menyusuri sungai. Ada sungai di dekat rumah saya, saya suka berjalan-jalan sambil memikirkan cerita baru. Rasanya menyenangkan.


Ketika ide tak kunjung datang, apa yang Anda lakukan?

Saya harus selalu memutar otak dan berpikir keras untuk mendapatkan cerita, 99 persen hari-hari saya seperti itu. Tidak ada ide yang keluar (secara mudah). Cukup sulit... (saat suntuk) saya juga main alat musik, seperti piano dan gitar. 


Anda pernah juga pernah berakting kan dalam film "Ritual Day"?

Iya, hanya satu film.


Mau jadi aktor lagi?

Saya rasa tidak (tertawa).


Ada pesan untuk orang-orang di Indonesia?

Halo... Saya Iwai Shunji.. (berpikir) Selamat tidur? Terima kasih? (tertawa) Saya pernah ke Bali beberapa tahun lalu. Saya sangat suka nasi goreng, rasanya enak! Saya ingin berkunjung ke sana lagi. Semoga saya juga bisa membuat film di sana. Jika Anda tidak sengaja menemukan film saya, silakan ditonton dan selamat menikmati. Terima kasih.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017