Pnohm Penh (ANTARA News) - Di pinggiran Sungai Mekong di ibu kota Kamboja, persis di depan istana raja, puluhan anak-anak yang belum genap umur sepuluh itu berjalan berpanas-panas membawa nampan berisi jajanan yang mengingatkan orang pada sejarah gelap kebengisan rezim Khmer Merah.

Kepada kerumunan penonton festival tahunan balap dayung, anak-anak dari desa-desa sekitar Pnohm Penh itu menjajakan belalang, ulat, dan laba-laba goreng yang dulu banyak dimakan orang Kamboja yang kelaparan saat Pol Pot masih berkuasa.


Jajanan yang dijual di festival air pinggir Sungai Mekong, Pnohm Penh, Jumat (3/11). (ANTARA News/GM Nur Lintang)

Ada juga beberapa anak seumuran yang berjualan balon sambil memungut kaleng kosong bekas turis.


Seorang anak berjualan balon dan memungut sampah di festival air, pinggir sungai Mekong, Pnohm Penh, Jumat (3/11). (ANTARA News/GM Nur Lintang)

Mereka adalah potret kemiskinan yang belum hanyut dimakan arus Mekong meski sudah hampir setengah abad Kamboja bebas dari rezim yang memakan jutaan nyawa manusia.


Seorang anak berjualan belalang goreng di festival air pinggir Sungai Mekong, Pnohm Penh. (ANTARA News/GM Nur Lintang)

Beberapa data menunjukkan bahwa 41 persen warga Kamboja masih harus bertahan di bawah garis kemiskinan, sekalipun Bank Dunia sudah menaikkan status negara tersebut dari kategori miskin menjadi menengah-bawah.

Demi menghapus jejak masa lalu itu, Kamboja hari ini menerapkan resep lama yang diharapkan cepat memacu ekonomi negara: judi.

Kamboja sepertinya tidak punya banyak pilihan lain selain judi. Sektor garmen yang selama ini menyumbang aktivitas produksi paling besar tengah lesu kalah saing dengan China. Demikian pula dengan pertanian yang tidak terlalu produktif meskipun banyak menyerap tenaga kerja.

Sementara itu sejarah juga menunjukkan bahwa Kamboja berhutang banyak dari industri judi, yang dalam perhitungan GDP masuk kategori pariwisata. Segelintir warga kaya di negara ini mendirikan kasino di daerah perbatasan untuk menampung para petaruh nasib dari Thailand, Myanmar, dan Vietnam yang pemerintahnya melarang aktivitas judi, demikian The Economist mencatat.

Beberapa peneliti bidang pariwisata seperti, Shou-tsung Wu dan Yeong-Shyang Chen, mengatakan bahwa kompleks hiburan terintegrasi--yang terdiri dari hotel, restoran, pusat perbelanjaan bebas pajak, dan dan tentu saja meja-meja judi--memang bisa menjadi jalan pintas menstimulasi ekonomi. Kompleks tersebut dianggap mampu menciptakan beberapa industri penyangga, seperti penyuplai makanan, transportasi, dan keperluan turis lainnya.

Pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen nampak ingin mengulang cerita keberhasilan dari para peneliti itu. Mereka membiarkan salah satu pengembang kompleks perjudian di Asia, NagaCorp, menggusur sebagian gedung sebuah institusi pendidikan Budha untuk menggandakan jumlah kasino meski mendapat tentangan besar dari para tokoh biarawan berpengaruh.

NagaCorp sendiri sudah mengoperasikan salah satu kompleks kasino terbesar di Asia Tenggara di Pnohm Penh, juga di pinggir Sungai Mekong, sejak 1995. Mereka mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah yang memberi hak monopoli perjudian dalam radius 200 km dari pusat ibu kota.

Hanya dari satu kompleks perjudian, korporasi yang didirikan oleh warga Malaysia itu mampu menguasai 25 persen pemasukan dari sektor pariwisata nasional Kamboja, atau sekitar tiga persen ekonomi secara keseluruhan.

Tidak ada hotel mana pun di dunia yang mampu menggerakkan tiga persen aktivitas produksi bruto nasional. Di Kamboja, judi jauh lebih laku dibanding bangunan bersejarah yang masuk dalam tujuh keajaiban dunia seperti Angkor Wat.

Namun NagaCorp belum puas sebagaimana modal yang harus terus berlipat mengikuti postulat ekonomi Marx. Pada Jumat malam, mereka resmi membuka satu kompleks permainan tangkas baru bernama Nagaworld2 yang melipat gandakan jumlah meja judi menjadi 600, mesin permainan elektronik jadi 5.000, lengkap dengan 1.700 kamar hotel.


Pemandangan dari kompleks NagaWorld2, nampak komplek NagaWorld1 diapit institut Budha di bawah dan Sungai Mekong di atas. (ANTARA News/GM Nur Lintang)

Suasana kompleks dua hotel Naga di Pnohm Penh memang seperti dunia yang berbeda. Gedung ini dipenuhi kamar mewah, meja permainan, sauna dan ribuan pelayan yang siap 24 jam. Mereka yang berkantong tebal juga bisa memesan hidangan penutup berlapis emas--benar-benar emas yang bisa di makan.

Sangat kontras dengan pemandangan anak-anak yang berjualan belalang goreng beberapa ratus meter dari hotel.

Tidak ada orang lokal yang boleh masuk dan bermain judi di hotel ini. Sebagian besar tamu berasal dari China daratan dan Malaysia yang bosan dengan pusat judi Asia lain seperti di Makau dan Singapura.

Naga dengan demikian adalah industri kemewahan yang dimiliki orang asing dan melayani orang asing.

Namun pendiri NagaCorp sekaligus pemegang saham kendali asal Malaysia, Chen Lip Keong, beralasan bahwa pihaknya tidak mencari untung di negara orang.

"Misi kami bukanlah mendirikan monumen, tapi membangun bangsa Kamboja dan warganya," kata Chen saat meresmikan pembukaan kompleks NagaWorld2 di Pnohm Penh, pada Jumat malam.

Chen memamerkan bagaimana kasino miliknya telah mempekerjakan hampir 7.000 warga lokal dan menjadi pembayar pajak paling besar di seluruh Kamboja. Dia bahkan sesumbar mengatakan bahwa pusat perjudian kawasan Mekong itu akan menjadi pemantik bangkitnya industri jasa di Asia Tenggara, di bawah kerangka kerja masyarakat ekonomi ASEAN.


Salah satu mesin judi elektronik di NagaWorld2. (ANTARA News/GM Nur Lintang)

Pemerintah Kamboja pun mengakui kontribusi NagaCorp dalam industri pariwisata.

"Dengan pembukaan NagaWorld2 ini, NagaCorp akan membantu memenuhi hampir 40 persen dari permintaan pasar yang akan mencapai 4.300an kamar standar setiap harinya pada 2018 di ibu kota, kata Menteri Pariwisata Kamboja, Thong Khon, pada kesempatan yang sama.

Dari sini, pemerintah dan NagaCorp nampak seperti para murid paling setia garis ajaran "reaganomics" yang percaya modal akan selalu menetes ke bawah jika terus diputar.

Tapi betulkah demikian? Benarkah NagaCorp telah berkontribusi positif terhadap perekonomian Kamboja dan membantu mengentaskan problem kronis kemiskinan di negara itu?

Tentu saja butuh penelitian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan ini. Namun dari indikasi yang ada, klaim Chen dan Thong masih sangat bisa diperdebatkan.

Yang pertama soal tenaga kerja. Seorang sumber NagaCorp yang tidak ingin disebutkan namanya mengakui bahwa sebagian besar karyawan lokal adalah pekerja bergaji rendah, sementara posisi manajemen diserahkan sepenuhnya kepada profesional asing dari Malaysia dan beberapa orang kulit putih.

Lalu, dampak stimulan (multiplier effects) yang sering dibanggakan oleh industri perhotelan juga tidak sepenuhnya bisa diklaim mengingat Kamboja belum punya kemampuan memadai untuk memenuhi semua kebutuhan kompleks Naga--seperti kopi Arabika, coklat, dan bahkan pengisi acara hiburan.

Indikasi dari fenomena industri wisata tanpa penyangga ini terbaca dari tidak berharganya mata uang lokal di Kamboja yang semakin tersisih oleh dolar AS.

Belum siapnya Kamboja juga tercermin dari pernyataan Chen dan Menteri Thing sendiri. Chen malam itu mengatakan bahwa dirinya bangga punya tim pemadam kebakaran sendiri--yang mengindikasikan bahwa NagaCorp tidak percaya pada kemampuan lembaga pemerintah.

Sementara Thong dalam pidatonya sempat menyindir NagaCorp agar "lebih banyak menggunakan produk lokal".

Di sisi lain, beberapa penelitian di kawasan judi Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa sangat sedikit uang turis petaruh yang dibelanjakan di luar meja judi sehingga industri penyangga banyak yang tidak tumbuh.

Selain itu kehadiran kompleks kasino besar juga cenderung membuat warga lokal banyak meninggalkan profesi di sektor lain yang masih butuh tenaga kerja seperti pertanian.

Hingga kini Antara belum menemukan penelitian serupa di Kamboja yang menunjukkan kecenderungan sama ataupun berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Namun setidaknya kesimpulan dari negara lain itu bisa menjadi bahan perdebatan publik.

Yang terakhir, NagaCorp nampak menutup diri dan tidak banyak membangun hubungan dengan lingkungan sekitar. Hubungan kelompok agamawan sudah rusak sejak penggusuran sebagian bangunan institut Budha yang didemonstrasi oleh ratusan biarawan.

Demikian pula dengan pers nasional Kamboja. NagaCorp mampu membiayai perjalanan dan akamodasi hampir 100 wartawan dari Asia Tenggara dan China untuk meliput pembukaan NagaWorld2. Tapi pada Jumat malam itu tidak ada satupun jurnalis lokal yang hadir dalam acara yang sama.

"Kalau ada survei, saya yakin sebagian besar warga Pnohm Penh tidak akan setuju dengan kehadiran Naga di kota ini," kata seorang wartawan lokal yang ditemui Antara secara terpisah pada Kamis.

Inilah cerita dari Kamboja yang mencoba peruntungan ekonomi dari meja judi. Juga kisah soal orang-orang yang membuang dolar, hanya beberapa ratus meter dari tempat anak-anak berjualan belalang untuk dimakan.


Oleh GM Nur Lintang Muhammad
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017