Istana Kepresidenan Yogyakarta yang berada di ujung selatan Jalan Malioboro pernah menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia selama tahun-tahun revolusi tergenting.

Kompleks seluas 43.585 meter persegi itu menghadap ke arah Timur, berseberangan dengan Museum Benteng Vredeburg, bekas benteng Belanda.

Istana Yogyakarta lebih sering disebut Gedung Agung untuk membedakannya dengan Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari Gedung Agung.

Gedung Agung semula merupakan kediaman resmi residen Belanda ke-18 bernama Anthonie Hendriks Smissaert di Yogyakarta (1823-1825).

Arsitek A Payen membangun kediaman itu dengan gaya bangunan arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis. Bangunan itu pernah ambruk karena gempa bumi pada 1867 dan dibangun kembali pada 1869.

Di pintu gerbang utama, dua patung Dwarapala setinggi dua meter dengan taring, mata melotot, ular yang melingkari badan serta gada dan pisau "menjaga" Gedung Agung. Kedua patung ini berasal dari pintu biara Buddha di sebelah selatan Candi Kalasan. Kembaran keduanya ada di Istana Merdeka dan di Museum Sonobudoyo.

Selain patung Dwarapala, ada juga tugu Dagoba (Tugu Lilin) setinggi 3,5 meter dari batu andesit yang tampak menyalakan api semu di puncaknya.

Meski bagian depannya berhias arca Jawa, gaya Eropa tetap tampak menonjol pada bangunan Gedung Agung, terlihat dari tiang-tiang besar gaya Doria di serambi depan dan ruang makan, cekukan tempat kaca di dinding dan untaian lampu gantung kristal.

Perpaduan dengan unsur Indonesia tampak pada hiasan tembok berupa ornamen kain batik Iwan Tirta yang berhadap-hadapan dengan ukir-ukiran Jepara di ruang makan VVIP.


Ruang Makan VVIP di Istana Yogyakarta. (Desca Lidya Natalia)


Di gedung induk, ruang Garuda menjadi ruang pertama sebagai penyambut tamu negara. Di ruangan ini pulalah Kabinet Republik Indonesia dilantik tatkala Ibu Kota negara berpindah ke Yogyakarta.

Ruang itu juga dijadikan tempat sidang kabinet, pelantikan Jendral Soedirman sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (3 Juni 1947) serta pelantikannya sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (3 Juli 1947), penerimaan tamu agung serta upacara-upacara kenegaraan.

Tadinya, pada dinding ruangan tergantung lukisan-lukisan pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, R.A. Kartini, Dokter Wahidin Soedirohusodo, dan Tengku Cik Di Tiro. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lukisan-lukisan itu diganti dengan foto para presiden.

Tempat itu juga pernah menjadi tempat pelantikan kabinet Sjahrir, kabinet Amir Sjarifuddin, kabinet Hatta, pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) hingga pelantikan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2012.

Loteng ruangannya setinggi tujuh meter. Menggantung di sana empat rangkaian lampu kandelir bertingkat, dan cermin-cermin tua tergantung di cekukan dinding.

Menurut buku "Istana Presiden Indonesia" terbitan Sekretariat Negara RI (1995) yang disusun oleh Joop Ave, di tempat itu pengiring Sultan Sepuh (Hamengkubuwono II) menghunus pembantu-pembantu Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles karena mereka menyepak alas dampar kencana (bangku tempat duduk dari emas) Sultan.

Waktu berkunjung ke Raffles, pengiring Sultan membawa dampar kencana berikut alasnya yang sengaja dibuat agar Sultan lebih tinggi dari Raffles saat mereka duduk berdampingan. Ini tidak disetujui pembantu Raffles, yang menganggap atasannya itu lebih tinggi dari Sultan.

Bagian depan kanan Gedung Induk terdapat Ruang Soedirman untuk mengenang perjuangan Panglima Besar Soedirman dalam memimpin gerilya melawan Belanda. Di ruangan inilah dulu Panglima Besar Soedirman mohon diri kepada Presiden Soekarno untuk meninggalkan kota guna memimpin perang gerilya melawan Belanda.

Sedangkan pada bagian depan kiri gedung utama terdapat Ruang Diponegoro untuk mengenang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Dalam ruang ini tampak pula lukisan sang pangeran sedang berkuda.


Ruang Diponegoro di Istana Yogyakarta. (Desca Lidya Natalia)


Sisi selatan Gedung Induk terletak ruang tidur presiden beserta keluarga, sedangkan di sisi utara terletak kamar tidur yang disediakan bagi wakil presiden beserta keluarga dan bagi tamu negara atau tamu agung yang lain beserta keluarga.

Selanjutnya masih ada ruang jamuan makan bagi tamu negara serta ruang pertunjukkan kesenian sebagai ruang terluas di Gedung Agung (sekitar 500 meter persegi). Jika pada zaman revolusi banyak dipakai sebagai tempat kursus dan ceramah politik bagi rakyat, sekarang terutama dipakai untuk pertunjukan kesenian.

Di sekeliling gedung induk, tersebar sejumlah wisma yang berisi kamar-kamar untuk para tamu, antara lain Wisma Negara yang meliputi 19 kamar; Wisma Indraphrasta yang merupakan wujud bangunan asli kantor asisten residen Belanda, penggagas bangunan yang kini menjadi istana; Wisma Sawojajar; Wisma Bumiretawu; dan Wisma Saptapratala.

Bangunan selanjutnya adalah Gedung Seni Sono yang saat ini menjadi gedung auditorium dan rapat berskala internasional. Tadinya gedung ini hanya untuk penyimpanan koleksi benda-benda seni.

Gedung Seni Sono awalnya adalah bangunan kuno yang dibangun Belanda pada 1911 dan terakhir digunakan sebagai kantor Berita Nasional Antara. Sejak 2014 gedung Seni Sono difungsikan menjadi ruang sidang kabinet atau ruang pertemuan besar seperti dalam peringatan Hari Anti Korupsi pada 2016 lalu.

Agak ke belakang, terdapat kolam kecil yang dirancang oleh Presiden Sukarno berbentuk menyerupai teratai. Kolam yang menjadi tempat leyeh-leyeh Sukarno dan keluarga hingga kini masih teraliri air.


Kolam di Istana Yogyakarta yang didesain oleh Bung Karno. (Desca Lidya Natalia)



Cerita Revolusi

Menurut Kepala Istana Kepresidenan Yogyakarta, Saifullah, banyak warga Yogyakarta yang malah tidak tahu mengenai istana ini.

"Banyak orang Yogya yang tidak tahu Gedung Agung ini, pengunjung yang datang malah banyak dari luar Yogyakarta seperti Sumatera dan provinsi di pulau Jawa lain, tapi rakyat Yogya sendiri banyak yang tidak tahu Istana Kepresidenan Yogyakarta," kata Saifullah.

Padahal Gedung yang menyimpan sejarah revolusi ini setiap peringatan hari Kemerdekaan 17 Agustus juga dipakai upacara oleh Gubernur Istimewa Yogyakarta dan segenap bawahannya.

Karena itulah mulai September 2017, Saifullah benar-benar membuka Gedung Agung untuk masyarakat.

Ia mengumpulkan para lurah dari 45 kelurahan di kota Yogyakarta agar mempromosikan Gedung Agung kepada masyarakat. Bila masyarakat ingin berkunjung pihak istana akan menjemput di kelurahan-kelurahan tersebut.

"Antusias masyarakat sangat baik, sampai mereka yang berusia lanjut juga ikut datang, turis asing pun boleh masuk. Tujuannya agar mereka mengenal kita, kalau mereka kenal kita berarti mereka juga mengenal sejarahnya," tambah Saifullah.


Tugu Dagoba di Istana Yogyakarta. (Desca Lidya Natalia)


Sejarah revolusi bangsa Indonesia pada 1946-1949 memang berada di Gedung Agung.

Pada 4 Januari 1946, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dijemput dari rumah mereka di Jakarta bersama dengan para menteri, keluarga dan pembantu terdekatnya naik kereta diam-diam menuju Yogyakarta. Tidak seorang pun boleh membawa harta bendanya.

Pada 6 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibu kota baru RI. Gedung Agung menjadi Istana Kepresidenan karena ditinggali Sukarno dan keluarganya sedangkan Hatta tinggal di rumah yang berseberangan dengan Gedung Agung di jalan Reksobayan. Bangunan itu sekarang ditempati Korem 072/Pamungkas.

Menteri-menteri dititipkan di rumah penduduk Yogya, hanya Perdana Menteri Sjahrir yang untuk sementara berdiam di Jakarta ketika itu.

Mereka pindah ke Yogyakarta karena tentara Belanda menguat, ditambah pasukan marinir Belanda yang mendarat di Tanjung Priok menyulitkan tugas polisi RI yang muda dan serba lemah.

Sayangnya, Gedung Agung kurang layak disebut sebagai istana karena sebagian atapnya hancur setelah penyerbuan anggota Barisan Penjaga Oemoem dari Komite Nasional Indonesia (KNI) yang melucuti penguasa militer Jepang Tyookan saat itu.

Seorang mantan pelaut bernama Mutahar diangkat sebagai protokoler istana dan berinisiatif untuk meminjam perabot makan ke restoran China, taplak ke penduduk dan aturan protokoler kepresidenan.

Presiden Sukarno pun tidak terus-terusan tinggal di Gedung Agung, ia pernah mengungsi pada 21 Juli 1947, saat Belanda merobek perjanjian Linggarjati dan mengirim tentara menyerbu. Sukarno mengungsi secara rahasia ke Gunung Wilis, 120 kilometer dari Madiun sampai gencatan senjata 2 minggu kemudian.

Namun kereta api rahasia yang membawanya dari Madiun ke Yogyakarta pada malam hari kembali ke Madiun malam itu juga sehingga Ibu Fatmawati ditinggal sendiri di Gedung Agung tanpa pembantu untuk merawat anak yang sudah dua orang, salah satunya adalah Dyah Permata Megawati Soekarnoputri yang lahir pada 23 Januari 1946.

Serangan paling langsung adalah pada 19 Desember 1948, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II. Yogyakarta digempur dari udara sejak dini hari. Semua kendaraan di jalan ditembaki pesawat P-51, dapur istana pun ikut menjadi sasaran.

Pasukan TNI sedang mengikuti latihan di luar kota sehingga tidak ada perlawanan yang berarti.

Di Gedung Agung terjadi kesibukan sejak pagi. Beberapa menteri datang berjalan kaki. Panglima Besar Soedirman yang sedang sakit mendesak Sukarno untuk meninggalkan kota dan bergerilya di hutan, tapi Presiden menolak sehingga Jenderal Soedirman berangkat mengambil jalan yang masih terbuka ke arah tenggara Yogya, kembali memegang pimpinan angkatan perang dan memimpin gerilya jika musuh menyerang kembali.

Menjelang tengah hari, seluruh kota telah diduduki kecuali keraton dan istana. Istana dikepung dari segala jurusan tapi sebelumnya pemerintah sempat mengumumkan lewat radio bahwa jika sampai pemerintah di Yogyakarta ditangkap Belanda maka Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera ditunjuk untuk membentuk Pemerintah Darurat RI atau jika ia tidak berhasil maka Menteri Keuangan AA Maramis yang sedang di India diperintahkan membentuk pemerintah darurat di luar negeri.

Tak berapa lama, pasukan Belanda menghujani daerah sekitar istana dengan rentetan tembakan. Presiden Sukarno memerintahkan pengawal istana meletakkan senjata. Sukarno lalu keluar bersama seorang perwira memegang tangkai sapu ijuk diikat selembar kain putih, menyusul sejumlah menteri berjalan ke halaman menuju komandan tentara Belanda di pinggir jalan Secodiningratan. Saat itu hujan gerimis tiba-tiba turun.

Semua penghuni Gedung Agung ditawan. Sukarno-Hatta dan pejabat teras diasingkan Belanda ke Brastagi dan Bangka. Gedung Agung bukan lagi menjadi istana, tapi Republik tetap berjalan tanpa istana.

Penyerangan yang lain terhadap Yogyakarta terjadi waktu Gedung Agung diduduki Belanda pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 WIB, saat 2.000 orang tentara di bawah pimpinan komandan Wehrkreise III Letnan Kolonel Soeharto menyerang dari segala jurusan dan berhasil menduduki kota selama enam jam.

Pasukan Indonesia menyusup ke markas polisi rahasia Belanda IVG di jalan Ngupasan di belakang istana, melewati lorong-lorong saluran di bawah halaman Gedung Agung dan mengepung serdadu Belanda yang ada di benteng Vredenburg, polisi militer yang mendiami Gedung Agung pun mengungsi ke benteng.

Gedung Agung kembali menjadi istana pada akhir Juni 1949 saat Belanda mengundurkan diri dari Yogyakarta dan dua minggu kemudian Jenderal Soedirman kembali dari pedalaman, bersamaan dengan kedatangan Mr Sjafruddin Prawiranegara dari Sumatera. Mandat pimpinan negara dikembalikan kepada Presiden Sukarno.

Desember 1949 Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS pertama dan berangkat ke Jakarta sehingga peranan utama beralih ke Istana Merdeka. Agustus 1959 Gedung Agung tetap berfungsi sebagai istana untuk acting president Mr Assaat, tapi setelah RIS dilebur menjadi NKRI dengan ibu kota Jakarta, Gedung Agung dipergunakan pemerintah daerah Yogyakarta.

Sejak 1972 Gedung Agung kembali masuk dalam keluarga istana-istana Presiden untuk penginapan presiden serta tamu negara yang datang ke Yogyakarta.


Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017