Berbeda dengan suasana kota besar lain di China, Chenghai yang merupakan sebuah distrik di Kota Shantou, Propinsi Guangdong, terlihat lebih sepi. Tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu lalang.

Distrik berpenduduk sekitar 152.000 jiwa Chenghai luasnya 345 kilometer persegi, sekitar separuh dari luas daratan Jakarta (661 kilometer persegi) yang dihuni sekitar 10 juta warga.

Jalanan yang lebar yang tidak ramai dilalui kendaraan membuat suasana di jalan utama Chenghai seperti suasana jalan raya pada hari libur di Jakarta.

"Jalanan tampak sepi karena sebagian besar warga bekerja di pabrik mainan," kata Huang Ying Lai, penerjemah yang mendampingi rombongan Perkumpulan Pengusaha, Produksi dan Importir Mainan Indonesia (P3IMI) di Chenghai akhir Oktober lalu.

Huang Ying, pria kelahiran Makassar berusia 50-an yang akrab disapa Yusuf, mengatakan sebagian besar pekerja tinggal di rumah susun yang disediakan perusahaan sehingga jalanan tidak dipenuhi pekerja yang berangkat atau pulang kerja.

Sepanjang perjalanan dari stasiun kereta api cepat Shantou menuju Distrik Chenghai, yang terlihat di sisi kiri dan kanan hanyalah toko atau pabrik mainan, dari yang skala rumahan sampai skala besar dengan ribuan pekerja.

Produsen-produsen mainan itu memperagakan produk mereka di sebuah arena pertunjukan bersama yang menampilkan ribuan jenis mainan. Satu hari saja tak akan cukup untuk melihat semua mainan yang dipamerkan di sana.



Kenny Hung, pemilik Intertional Toys Trading Ltd (ITTL), salah satu produsen mainan besar di China, mengatakan bahwa semula sebagian besar produsen mainan di Chenghai hanyalah usaha kecil milik keluarga.

Usaha-usaha keluarga itu kemudian perlahan terus berkembang, baik dalam hal modal, kapasitas produksi maupun sumber daya manusia.

Sekarang Chenghai sudah memiliki jaringan yang memadukan industri bahan mentah, suku cadang dan berbagai komponen, sampai pada konsep desain, produksi dan pemasaran.

Hong Kong dan Taiwan yang memasok mesin cetak dan teknologi mutakhir menjadi penyumbang terbesar perkembangan sektor usaha mainan anak di sana.

Menurut data Dewan Industri Ringan China dan Asosiasi Kerajinan China, Distrik Chenghai memiliki lebih dari 5.000 pabrik mainan, 30 di antaranya memiliki pendapatan 16 juta dolar AS lebih per tahun.

Sekitar 20 persen dari total ekspor mainan secara nasional China yang ditujukan ke 140 negara berasal dari Chenghai.

Di Chenghai pula empat produsen terbesar berada, yaitu Guangdong Alpha Animation and Culture Co Ltd, Xinghui Auto Model Co Ltd, Huawei Scientific Technology Co Ltd dan Guangdong Qunxing Toys Joint-Stock Co Ltd.

Tidak salah bila Chenghai pun kemudian dinobatkan sebagai "Kota Mainan China" (Toys City) sebagai penghargaan atas prestasi distrik tersebut.

Pada delapan bulan pertama 2017, China mencatat kenaikan ekspor maupun impor mainan, memperkuat status negara itu sebagai produsen sekaligus konsumen mainan terbesar di dunia.

Selama Januari sampai September tahun ini, nilai ekspor mainan China naik 37 persen dibanding kurun yang sama tahun lalu menjadi 26,4 miliar dolar AS, sementara impornya naik 34 persen menjadi 719 juta dolar AS.

Tidak salah pula jika P3IMI yang diketuai Sariat Arifia tersebut memilih Chenghai sebagai tempat untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen, termasuk perusahaan besar seperti Huawei, International Toys Trading Ltd (ITTL) dan Rastar Group yang tergabung dalam Asosiasi Mainan Chenghai.

"Kita tidak mau tanggung-tanggung, kalau ingin belajar mengenai industri mainan, ya harus langsung ke Chenghai sebagai pusatnya," kata Sariat usai menandatangani Nota Kesepahaman dengan Asosiasi Mainan Chenghai yang diwakili oleh ketuanya Zhuo Cai Guo.

Dalam kunjungan tersebut, Sariat juga mengundang M. Zakir dan Finy Saptarita, senior manajer dari Sucofindo, serta Ihsan Yunus, ekonom dari PDI Perjuangan yang juga anggota DPR RI Komisi VI, serta Dubes RI untuk China Sugeng Rahardjo.


Kerja Sama

Kunjungan pengusaha Indonesia ke Chenghai menurut Sariat pada intinya ditujukan untuk meningkatkan kerja sama P3IMI dan Asosiasi Mainan China, termasuk bagaimana China harus bisa memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Menurut M. Zakir, sejak 1 Mei 2014 setiap produk mainan impor yang masuk Indonesia harus lolos standar SNI.

Sebagai perusahaan milik negara, ia menjelaskan, Sucofindo bertugas melindungi anak-anak dari dari mainan yang berbahaya bagi kesehatan.

"Harus ada standar mainan yang aman sehingga anak-anak bisa terbebas dari berbagai risiko," kata Zakir.

Latar belakang dari diterbitkannya SNI menurut Zakir adalah maraknya peredaran mainan anak, terutama mainan impor yang mengandung logam berat yang berbahaya bagi kesehatan anak.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, setiap tahun Indonesia mengimpor mainan anak dengan nilai mencapai 75 juta dolar AS.

Melihat kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh China, termasuk dalam jenis industri mainan, Indonesia menurut Ihsan Yunus memang perlu banyak belajar agar tidak hanya menjadi pasar mainan produksi negara lain.

"Dalam kunjungan dan kerja sama antara P3IMI dan Asosiasi Mainan Chenghai, setidaknya pihak Indonesia harus belajar banyak agar terjadi transfer teknologi dan Indonesia tidak hanya menjadi sasaran pasar mereka," kata Ihsan.

Dalam jangka pendek, pasar Indonesia memang masih banyak tergantung pada produk mainan dari China, tapi untuk jangka panjang P3IMI akan berusaha membujuk pengusaha China untuk berinvestasi di Indonesia.

"Saya juga mengimbau agar pajak bagi produk mainan impor tidak terlalu tinggi agar barang yang sampai ke masyarakat tidak terlalu tinggi," kata Ihsan, yang berasal dari daerah pemilihan Jambi.

Meiti Holil, importir asal Jakarta yang ikut dalam rombongan itu, mengatakan bahwa sejak pemberlakuan SNI, arus barang yang mengalir dari China langsung berkurang karena banyak jenis mainan yang tidak sesuai standar.

"Saya setuju dengan diterapkannya SNI karena bagaimana pun kita harus melindungi keselamatan konsumen yang umumnya anak-anak," kata Meiti, yang biasa memasok mainan ke Pasar Asemka, Jakarta.

Namun Meiti berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan bea impor yang menurut dia cukup memberatkan.

"Sebenarnya bisnis impor mainan anak-anak penuh risiko karena ada barang yang musiman dan kalau pengurusan izin di bea cukai terlalu lama, maka saat keluar dari pelabuhan, bisa jadi mainan itu sudah musim lagi," katanya.

Oleh Atman Ahdiat
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017