Juba, Sudan Selatan (ANTARA News) - Kompleks pemakaman, yang terletak di Konyo Konyo di pusat Kota Juba, disediakan buat tempat peristirahatan warga yang telah meninggal di Ibu Kota Sudan Selatan.

Namun, kompleks pemakaman tersebut telah menjadi tempat tinggal ribuan orang yang berkumpul di Ibu Kota Sudan Selatan sebelum dan setelah negara Afrika Timur itu meraih kemerdekaan pada 2011 dan akhirnya tak memiliki tempat tinggal.

"Saya dulu takut untuk tinggal di tempat orang yang sudah mati, tapi karena saya tak memiliki tempat tujuan, saya telah menjadi teman saudara-saudari kami yang kehilangan tempat tinggal selama bertahun-tahun ini," kata Raymondo Modi (45) kepada Xinhua.

Modi, ayah 10 anak, mengungsi ke tempat pemakaman tersebut setelah ia diusir dari satu rumah sewa di pinggiran Juba. Ia tak bisa membayar uang sewa rumah.

Modi, yang berasal dari Terekeka, daerah yang berada 50 mil di luar Juba, pindah bersama keluarganya ke Ibu Kota Sudan Selatan itu dengan harapan kesempatan baru akan datang.

"Saya telah memberi nama kompleks pemakaman ini Desa St. Mary untuk membantu saya mengingat gereja tempat saya dulu biasa berdoa, di desa saya di Terekeka," kata Modi.

Orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin sebanyak 3.000 warga tersebut menjual kayu bakar untuk memperoleh nafkah. Ia mengatakan bahwa ia memperoleh antara 50 dan 100 pound Sudan Selatan (antara 0,3 dan 0,6 dolar AS) per hari.

Sementara krisis ekonomi yang menggigit menyebar, ia dan keluarganya dipaksa makan makanan ala kadarnya sekali sehari, kata Modi.

"Kami tak mampu membeli daging dan ikan sebab semuanya mahal," kata Modi.

Kurangnya air bersih serta layanan pendidikan dan medis yang layak membuat keadaan lebih berat lagi buat Modi dan teman-temannya.

"Hidup telah menjadi lebih berat buat masyarakat dibandingkan dengan pada hari-hari pertama ketika saya menetap di sini," katanya.

Seperti Modi, banyak orang yang pindah ke Juba dari daerah yang berdekatan telah berakhir di kompleks pemakaman dengan kondisi serupa.

James Legge, ayah 12 anak, telah menghabiskan 14 tahun di kompleks pemakaman setelah ia pensiun dari militer. Legge mengatakan pemerintah tak bisa membayar paket pensiunnya dan ia tak memiliki pekerjaan lagi.

Sudan Selatan ditelan perang saudara yang meletus pada Desember 2013 dan menewaskan puluhan ribu orang serta membuat jutaan orang lagi kehilangan tempat tinggal.

Menurut organisasi bantuan yang beroperasi di negara Afrika itu, enam juta orang, separuh dari seluruh penduduk Sudan Selatan, hidup dalam kondisi rawan pangan parah.

Ribuan orang telah berkumpul di Ibu Kota Sudan Selatan dari daerah dataran tinggi, dengan harapan memperoleh sedikit rasa lega tapi mereka harus berjuang keras untuk bisa hidup.
(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017