Buku "Talking Pictures" dari Ann Hornaday, Basic Books New York (2017)  berisi tulisan padat-dan beragam mengenai cara untuk memahami dan enikmati sebuah film.

Ann Hornaday adalah peresensi film dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Perempuan peraih penghargaan Pullitzer tahun 2008 dalam bidang kritisisme itu menjadi kepala bidang kritik film di Washington Post.

Pada bagian pendahuluan "Talking Pictures", Ann membagi secuplik kisah pribadinya mengenai pertanyaan yang sering ditujukan yaitu "bagaimana dia bisa menjadi seorang kritikus film?"

Ann menuturkan bahwa jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya adalah "kecelakaan murni", karena dirinya pada masa kecil hingga remaja bukanlah seseorang yang gandrung akan dunia perfilman.

Tentu saja Ann pada masa kecil dan remajanya juga pernah menonton film di bioskop, tetapi hal itu bukanlah menjadi kegiatan atau dunia yang ditelaah dan digelutinya secara mendalam pada tahapan awal kehidupannya.

Setelah Ann lulus dari kuliah di bidang ilmu pemerintahan, dia pergi ke New York untuk menjadi wartawan. Dia keluar masuk sejumlah media, hingga sebuah majalah bernama "Premiere" (yang mengkhususkan diri untuk membahas dunia film dan pesohor) menerimanya.

Sejak bekerja di "Premiere" (majalah itu terbit pertama tahun 1987 dan hanya bertahan 20 tahun), dia mulai menulis berbagai hal tentang film, mulai dari beragam aspek teknis hingga berbagai orang yang berada di balik dan menjadi penampil dalam sebuah karya film.

Dia mewawancarai banyak orang, dari mereka yang spesialisasi membuat dokumenter hingga film eksperimenter, sutradara yang masih segar hingga mereka yang sudah berpengalaman, dan menimba banyak ilmu yang sedikit banyak dikuasainya dan sangat berharga dalam memahami pembuatan film.

Dalam buku tersebut, dia membaginya menjadi tujuh bab yang terbagi atas tujuh aspek penting dalam proses penciptaan sebuah karya. Secara berturut-turut, ketujuh bab itu adalah mengenai penaskahan, pelakon, desain produksi, sinematografi, penyuntingan, suara dan musik, serta penyutradaan.

Naskah-akting
Di bab mengenai penaskahan, dia berpendapat bahwa sebuah naskah adalah titik referensi utama bagi sutradara dan berbagai pihak kreatif yang membantu melahirkan film, mulai dari mereka yang merencanakan pakaian atau kostum apa yang akan digunakan, latar belakang apa yang bakal dibuat, bagaimana pencahayaan dan sudut kameranya.

Dari wawancaranya dengan aktor George Clooney, Ann belajar bahwa sebuah film yang bagus tidak akan bisa dihasilkan dari naskah yang buruk, tetapi banyak contoh film buruk yang dihasilkan dari naskah yang sebenarnya baik.

Dalam dunia film, Ann juga menekankan pentingnya membangun naskah yang tidak hanya bagus dari segi dialog atau kata-kata, tetapi juga bagaimana dapat ditumpahkan dengan baik dalam sebuah medium visual, karena film itu pada intinya adalah sebuah tontonan.

Naskah yang baik, setelah mempersembahkan penceritaan yang terstruktur dengan baik, dengan membawa ketertarikan kepada penonton untuk terus menonton sejak awal, hingga berbagai zig-zag, serta terkadang adanya "plot twist" (plot yang tidak terduga), akan membawa perasaan yang puas bagi para penonton setelah mereka menyaksikannya.

Di bab tentang pelakon, Ann mengisahkan tentang para aktor dan aktris, yang membawa sebuah cerita menjadi nyata di hadapan kamera, dan akhirnya, di hadapan para penonton.

Bagi Ann, penting untuk aktor atau aktris menampilkan sebuah karakter yang membuat penonton memahami motif atau memiliki ketertarikan atas sosok itu, meski penonton sebenarnya tidak menyukai sifat-sifat yang melekat dalam karakter itu.

Dalam bentuk yang terbaiknya, menurut Ann, sebuah akting dapat menampilkan keseimbangan yang selaras antara ekspresi yang ditunjukkan secara lugas, dengan sedikit rasa menahan diri yang manusiawi, karena bila seorang aktor atau aktris menunjukkan penampilan yang setengah-setengah atau bahkan berlebihan, berarti dia hanya menampilkan emosionalisme, bukan emosi yang tulus yang bakal dipahami dan mendapat empati para penonton.

Dengan kata lain, sebuah akting yang baik adalah dengan menampilkan sebuah kebenaran tentang sebuah karakter, tanpa penonton dapat menangkap sedikit gelagat bahwa sang aktor atau aktris sebenarnya hanya berpura-pura, melalui penguasaan suara, gerak tubuh, ekspresi wajah, emosi, hingga intuisi yang ditampilkan dengan sempurna.

Pilihan tepat
Ann juga mengungkapkan bahwa hal terpenting dalam pembuatan film adalah proses pemilihan aktor atau aktris yang tepat untuk memainkan peran yang ada di dalam film tersebut, bahkan menurut sutradara John Sayles "memilih aktor yang tepat adalah 90 persen dari pekerjaan ini (pembuatan film)".

Terkait desain produksi, Ann memaparkan pentingnya pembuatan sebuah latar belakang yang membantu film dalam menceritakan kisahnya, bukannya malah mengganggu atau menimbulkan rasa yang tidak sinkron dengan isi film, terlebih bila hal tersebut juga dirasakan para penonton.

Singkat kata, desain produksi dalam sebuah film, baik dari latar belakang, kostum, tata rias, hingga pernak pernik lainnya harus bisa membangun sebuah dunia baru yang menyokong film tersebut secara keseluruhan, dan mampu meyakinkan para penonton.

Dia menyebutkan ada sejumlah aspek yang bisa menjadi tolok ukur penilaian dari sebuah desain produksi yang baik seperti kredibilitas, ketertarikan, kebaruan, hingga orisinalitas.

Sedangkan sinematografi disebut Ann sebagai sebuah seni dalam menangkap gambar dan menentukan bagaimana pencahayaan dan bentuk visual apa yang bakal tampil di hadapan penonton, bahkan juga mendorong mood mereka ke arah yang selaras dengan makna yang ingin disampaikan oleh film itu.

Ann juga menyoroti tentang meledaknya teknologi 3D yang saat ini banyak digandrungi dalam proses pembuatan beragam film. Meski secara pribadi lebih memilih efek yang orisinal dibandingkan digital, Ann mengatakan 3D dapat saja digunakan dalam film, asalkan untuk menunjang unsur estetika dan bukan hanya karena "kemalasan" semata.

Sementara dalam hal penyuntingan, Ann menyebut bahwa proses mengedit itu bila diibaratkan dengan membangun rumah adalah seperti sebuah semen yang melekatkan berbagai batu bata.

Hal tersebut karena sebuah film itu dalam proses pembuatannya dapat menangkap gambar dari puluhan hingga ratusan jam film, yang harus dimampatkan menjadi sebuah film berdurasi sekitar 2 jam (bagi film yang lazimnya akan ditampilkan di bioskop).

Paradigma psikologis
Terkait dengan tata suara atau musik, Ann berpendapat bahwa di tangan orang yang memiliki keahlian mumpuni dalam proses rekording dan mixing, suara yang ditampilkan dalam film juga dapat menjadi arsitektur akustik yang menunjang pemaknsaan dari film itu, dan menempatkan penonton dalam paradigma psikologis yang tepat.

Ann mengutip perkataan sutradara kawakan Walter Munch, yang mengatakan bahwa tata suara yang baik bisa membantu meningkatkan empat persen kualitas film, tetapi bila diberi tata suara yang salah, maka akan menurunkan 90 persen dari kualitas film tersebut.

Penyutradaan ditempatkan di bab yang terakhir karena menurut Ann, sang sutradara adalah sosok yang terpenting dalam menggabungkan berbagai elemen dalam proses baik teknis hingga estetis dari sebuah film.

Seorang sutradara yang baik haruslah menguasai pengetahuan yang cukup tentang berbagai rentang proses pembuatan film, memahami sensitivitas bekerja dengan beragam jenis manusia, dan memiliki tingkat pengambilan keputusan yang baik dan tepat atas berbagai hal, baik besar maupun mikro, meski mereka hanya dipandu oleh pengalaman atau insting yang jitu.

Buku sepanjang 289 halaman ini menyuguhkan pemahaman yang baik dan mendalam dari seorang kritikus film yang telah memiliki jam terbang yang tinggi, tetapi disajikan dengan gaya yang tidak terlalu teknis sehingga juga dapat dipahami oleh para pembaca populer yang ingin mengintip sedikit tentang proses pembuatan film.

Sayangnya, di Indonesia masih belum terlalu banyak literatur nasional yang membahas proses pembuatan film secara mendalam tetapi populer seperti buku ini. 

Padahal, film-film buatan sineas Tanah Air pada saat ini semakin banyak yang ditampilkan di bioskop-bioskop di berbagai pelosok nusantara. 

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017