Jakarta (ANTARA News) - Kolumnis Al-Jazeera, Jamal Elshayyal, membeberkan analisis liar yang menghubungkan pengunduran diri perdana menteri Lebanon, ledakan di Bandara Internasional Raja Khalid di Riyadh, dengan penangkapan puluhan pangeran dan pejabat Arab Saudi.

Tiga peristiwa itu terjadi beriringan di Saudi itu dimulai dari Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri yang mengumumkan mundur dari jabatannya. Dia memprotes intervensi asing (Iran) dalam masalah dalam negeri Lebanon. Dia mengaku diancam dibunuh. Ironisnya dia mengumumkan pengunduran diri di Saudi, bukan di Lebanon.

Beberapa jam kemudian ledakan terdengar di dekat Bandara Internasional Raja Khalid di Riyadh. Keluar tuduhan bahwa pemberontak Houthi yang berafiliasi ke Iran telah menembakkan paling sedikit sebuah peluru kendali dari Yaman ke Riyadh.

Tengah malamnya muncul berita tak kalah mengagetkan; keluar dekrit raja berisi perintah penangkapan beberapa pangeran, miliarder dan tokoh-tokoh ternama lainnya, selain pemecatan sejumlah pejabat senior pemerintahan. Beberapa yang ditangkap adalah putra-putra mendiang Raja Abdullah yang salah satunya adalah panglima pasukan elite Pengawal Nasional Saudi.

"Ketiga perkembangan ini punya implikasi mengguncangkan, tidak hanya di Arab Saudi, tetapi juga di kawasan dan luar kawasan," ulas Elshayyal dalam laman Al-Jazeera.

Menurut dia, pengunduran diri Hariri atau mungkin dipecat sponsor-sponsornya di Saudi, mesti dianggap sebagai peringatan oleh siapa saja yang tak menginginkan pecahnya lagi perang baru di Timur Tengah.

Elshayyal lalu menyinggung Israel. "Sudah bukan rahasia lagi Israel menggelar latihan militer di front utaranya selama beberapa bulan terakhir. Ketika Hizbullah sibuk menegakkan rezim (Bashar al) Assad di Damaskus, Tel Aviv sibuk mengembangkan sistem pertahanan peluru kendalinya. Cepat atau lambar, Israel akan menguji skenario latihan itu di dunia nyata," kata Elshayyal.

Memaksa Hariri mengundurkan diri akan membantu Israel mendapatkan alasan untuk menyerang Lebanon dengan dalih perang terselubung dengan Iran.

Mengingat Gaza kini secara politik sudah jinak setelah Hamas menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Otoritas Palestina, Israel menganggap sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyerang Lebanon.

Serangan Israel ini juga akan dipakai sebagai tes oleh Barat mengenai bagaimana sikap pemerintahan baru Saudi yang dianggap moderat. Akankah mereka menyambut tindakan Israel di Lebanon itu?

Di Yaman, perang telah menguras keuangan Saudi di mana ratusan juta dolar AS melayang. Perang ini dilancarkan oleh Pangeran Mahkota Mohammed Bin Salman untuk menegakkan pemeritahan sah Sanaa, selain memperingatkan Iran. Keduanya ternyata gagal, tapi berhasil membunuh ribuan orang tak berdosa, menceraiberaikan jutaan orang, dan malah membesarkan posisi Iran sebagai pembela kaum tertindas di Timur Tengah.

Menyerang Riyadh akan berarti mendorong sang pangeran muda untuk lebih sembrono lagi dan destruktif dalam ekspedisi militernya di Yaman.

Yang belum jelas benar adalah motif di balik penangkapan dan pemecatan massal yang terjadi Minggu pagi itu. Mencopot kepala Pengawal Nasional yang pernah menjadi pesaing utama ke tahta raja, mengartikan Pangeran Mohammed bin Salman sedang mengonsolidasikan kekuasaan.

Yang masih menjadi pertanyaan adalah mengapa dia menahan Pangeran Alwaleed Bin Talal yang kaya raya itu. Di atas kertas, Bin Talal dan Bin Salman punya wajah yang sama. Keduanya menginginkan transformasi Arab Saudi menjadi masyarakat sekuler, keduanya juga tidak menyukai demokrasi dan liberalisme, dan keduanya juga tak ragu menggadaikan kemakmuran dan kedaulatan Saudi kepada AS.

"Belum lama ini saya berbicara dengan seorang kontak yang pernah bekerja untuk pangeran yang jutawan itu. Dia berkata bahwa alasan paling mungkin mengapa Bin Talal ditahan adalah keengganan Bin Talal menggelontorkan uang untuk membantu memulihkan ekonomi Saudi yang tengah kesulitan. Pesan dari Bin Salman kepada elite kaya negeri ini adalah 'bayar atau dikurung'.

Dalam epilognya, Elshayyal mengatakan pangeran muda berusia 32 tahun itu tengah berusaha menjerumuskan Timur Tengah ke dalam bahaya. Dia sudah menghancurkan Dewan Kerja Sama Teluk GCC, mengubah Yaman menjadi negara gagal, memasang bom waktu di Mesir dan kini memicu ledakan konflik di Lebanon, tutup Jamal Elshayyal.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017