Yangon (ANTARA News) - Myanmar pada Rabu menyatakan bahwa pernyataan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai krisis pengungsi Rohingya bisa sangat membahayakan pembicaraannya dengan Bangladesh untuk memulangkan kembali 600.000 orang lebih yang melarikan diri dari Myanmar untuk melarikan diri dar.

Dewan Keamanan PBB, dalam pernyataannya pada Senin, mendesak Myanmar untuk memastikan tidak ada penggunaan kekuatan militer berlebihan serta menyatakan keprihatinan sangat atas laporan pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan di negara bagian Rakhine.

Pemimpin de facto Myanmar Aung Sang Suu Kyi, yang pemerintahan sipilnya berbagi kekuasaan dengan militer, menanggapinya dengan mengatakan bahwa masalah yang dihadapi Myanmar dan Bangladesh hanya dapat diselesaikan secara bilateral, satu poin yang menurut dia diabaikan dalam pernyataan Dewan Keamanan itu.

"Selanjutnya, pernyataan kepresidenan (Dewan Keamanan) berpotensi dan sangat membahayakan perundingan bilateral antara kedua negara yang telah berjalan mulus dan cepat," kata kantor Suu Kyi dalam pernyataan.

Perundingan dengan Bangladesh terus berlanjut, ia mengatakan, dan Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hassan Mahmood Ali telah diundang ke Myanmar pada 16-17 November.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson dijadwalkan mengunjungi Myanmar sehari sebelumnya pada 15 November, dengan langkah-langkah yang sedang berlangsung di Washington untuk membawa sebuah undang-undang untuk memberikan sanksi kepada Myanmar.

Dengan melihat ke China, Myanmar menyatakan menghargai pendirian yang diambil oleh beberapa anggota Dewan Keamanan yang berpegang pada prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri negara-negara berdaulat.

Untuk meredakan kekuatan hak veto Rusia dan China, Inggris dan Prancis menyampaikan dorongan kepada Dewan Keamanan untuk mengadopsi resolusi mengenai situasi tersebut dan badan beranggota 15 orang tersebut dengan suara bulat menyetujui sebuah pernyataan resmi.

PBB telah mengecam kekerasan yang sudah berlangsung 10 minggu terakhir di Myanmar sebagai contoh klasik pembersihan etnis untuk mengusir Muslim Rohingya dari negara mayoritas umat Buddha Myanmar.

Militer menyatakan operasi penindakan militer yang mereka lakukan dipicu oleh serangan tersinkronisasi militan Rohingya terhadap 30 pos keamanan di bagian utara Negara Bagian Rakhine pada 25 Agustus.

Pengungsi Rohingya mengatakan militer membakar desa-desa mereka, namun militer mengatakan bahwa pembakarnya adalah petempur Rohingya. Pengungsi memberikan laporan mengerikan tentang pemerkosaan dan pembunuhan. Myanmar mengatakan tuduhan tersebut harus diselidiki. (Uu.R029)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017