Peringatan Hari Pahlawan 2017 ditandai dengan penganugerahan gelar pahlawan nasional dan puncaknya adalah pelaksanaan ziarah makam pahlawan pada 10 November.

Tahun ini, empat tokoh mendapat penghargaan dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Secara resmi Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Laksamana Malahayati dari Provinsi Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lafran Pane merupakan satu-satunya dari empat tokoh yang digelari pahlawan nasional yang berjuang di awal masa kemerdekaan. Ia menjadi salah satu tokoh utama yang menentang pergantian ideologi negara dari Pancasila menjadi komunisme.

Lafran Pane lahir di Sipirok, Sumatera Utara, 5 Februari 1922. Ia dikenal sebagai tokoh pergerakan pemuda dan memprakarsai pembentukan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947.

Lafran adalah seorang mahasiswa tingkat I Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Islam (STI) bersama 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam menggagas dibentuknya organisasi mahasiswa bernapaskan Islam.

Dalam perjalanannya, HMI secara konsisten menolak gagasan Negara Islam yang digagas oleh Maridjan Kartosoewiryo pendiri gerakan Darul Islam.

Lahir dari keluarga sastrawan dan seniman, Lafran Pane mendapatkan pendidikan agama dari bangku sekolah. Pemikirannya tentang Islam tidak lepas dari situasi kebangsaan saat itu yang mendorong lahirnya HMI.

Pemikirannya tentang pembaruan Islam di mana tugas umat Islam adalah mengajak umat manusia kepada kebaikan dan juga menciptakan masyarakat adil makmur baik secara material dan spiritual.



Islam dan Nasionalisme

Semasa di STI, Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947.

HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan "Islam" pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.

Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi pondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi.

Lafran sangat terbuka terhadap beragam interpretasi terhadap Pancasila, termasuk pada Islam. Islam bertumpu pada ajarannya memiliki semangat dan wawasan modern, baik dalam politik, ekonomi, hukum, demokrasi, moral, etika, sosial maupun egalitarianisme.

Egalitarianisme ini adalah faktor yang paling fundamental dalam Islam, semua manusia sama tanpa membedakan warna kulit, ras, status sosial-ekonomi.

Lewat HMI, Islam mendapat peran yang lebih tinggi yakni bahwa Islam bukanlah sekumpulan kaum yang mempertahankan tradisi dan pengetahuan tradisional.

Selain itu, dengan adanya HMI ide persatuan umat Islam yang mengikis fanatisme kelompok semakin meningkat.

Karena gagasannya membentuk HMI, ia ditunjuk sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI namun ia mundur dari ketua Umum PB HMI pada 22 Agustus 1947 dan pindah menjadi Wakil Ketua Umum.

Lafran Pane membagikan ilmunya lewat mengajar dengan menjadi dosen Fakultas Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta, dosen Fakultas Sosial dan politik Universitas Gajah Mada (UGM), dosen Universitas Islam Indonesia (UII), dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, sejak tanggal 1 Desember 1966, Lafran Pane diangkat menjadi guru besar (profesor) dalam mata kuliah Ilmu Tata Negara. Lafran Pane menghembuskan nafas terakhirnya pada 24 Januari 1991.



Usulan KAHMI

Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Mahfud MD mengatakan, pihaknya sudah sejak lama mengusulkan kepada Presiden atau tepatnya sejak dua tahun lalu agar pendiri HMI tersebut diangkat menjadi pahlawan nasional.

Ia mengatakan, jejak perjuangan Pane yang berperan aktif dalam HMI khususnya ketika Kongres XI HMI pada 1974 di Bogor itu telah teruji secara shahih.

"Berdasar jejak perjuangannya telah diuji keshahihannya di banyak perguruan tinggi," katanya.

Pemberian gelar tersebut merupakan hal yang pantas diterima oleh Lafran Pane karena sesuai dengan kiprah dan perjuangannya selama ini. Mulai dari pergerakan pemuda pada zaman kemerdekaan hingga mendirikan organisasi ini.

Bahkan, saat masih menjadi pemuda, Lafran ikut terlibat dalam penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok bersama pemuda lainnya untuk mempersiapkan proklamasi.

Setelah itu saat ibukota negara pindah ke Yogyakarta, Lafran muda juga ikut pindah dan menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Islam. Di perguruan itu dirinya ikut terlibat dalam organisasi mahasiswa Yogyakarta, namun karena orientasi organisasi itu belum memiliki fondasi Islam.

Dirinya keluar dan membentuk HMI dengan landasan yakni mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mengembangkan ajaran Islam.

Mensos Khofifah Indar Parawansa mengatakan, sebelumnya nama Lafran Pane telah dua kali diusulkan sebagai pahlawan nasional.

Namun penganugerahan gelar tersebut diputuskan oleh presiden setelah permohonan diusulkan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Karena jasanya terhadap bangsa dan negara terutama mempertahankan kemerdekaan dan kebangsaan yang tidak lepas dari nilai keislaman melalui organisasi yang didirikannya sudah sewajarnya Lafran Pane diganjar dengan gelar kehormatan sebagai pahlawan nasional.

Oleh desi purnamawati
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017