Panzhou, Guizhou (ANTARA News) - Matahari sudah pulang ke peraduannya, namun Desa Tuole di perbukitan barat daya China masih terang benderang berkat kerlap-kerlip lampu hias yang memancar dari atap bangunan vila dan hotel, menyambut kedatangan wisatawan dan delegasi.



Beragam jenis makanan dan minuman khas desa itu tersaji di ruang pertemuan besar, sementara beragam atraksi kesenian tradisional yang ditampilkan sejumlah penduduk desa menghibur para tamu di sela-sela jamuan makan malam.

Meskipun lokasinya terpencil, 2.738 kilometer di sebelah barat daya Beijing dan 302 kilometer di sebelah selatan Ibu Kota Provinsi Guizhou di Guiyang, Desa Tuole dalam dua tahun terakhir mulai dikenal di kalangan pejabat negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN dan China tentunya.

Tuole yang boleh dikata sebagai remote area alias daerah terpencil dari Distrik Panzhou, Kota Liupanshui, sejak setahun yang lalu telah berdiri China-ASEAN Convention Center, gedung pertemuan yang luasnya lebih kurang sama dengan kompleks BNDCC di Nusa Dua, Bali.

"Sudah dua kali pertemuan China-ASEAN di gelar di sini. Kalau tidak ada pertemuan seperti ini, ya tempat ini menganggur," kata Jing Ruixue, warga setempat yang menjadi petugas penghubung (LO) delegasi dan media Forum Tuole: Kerja Sama China-ASEAN untuk Peningkatan Kapasitas Produksi (CAIPCCF) 2017.

Tuole dirancang sebagai "Davos"-nya China untuk menyusun kerangka pemikiran dalam kemitraannya dengan negara-negara ASEAN.

Dari segi geografis, Tuole relatif lebih dekat ke perbatasan Vietnam, Laos, dan Myanmar sehingga sangat strategis bagi Provinsi Guizhou yang berambisi menjadi salah satu pangkalan komoditas ekspor-impor ASEAN seperti dua provinsi lainnya, Guangdong dan Fujian, yang lebih dulu sukses.

Secara teknis Tuole tidak untuk distribusi barang karena lingkungan di sekitarnya sangat terjaga. Mirip dengan suasana pegunungan di Bogor, Jawa Barat, dan Batu, Jawa Timur.

Tuole dikenal sebagai lahan subur bagi pertumbuhan pohon rambut gadis. Pohon yang bahasa latinnya disebut dengan ginkgo biloba itu satu-satunya spesies mirip fosil 270 tahun lalu yang sampai sekarang masih hidup di beberapa wilayah daratan Tiongkok.

Sesuai dengan namanya "rambut gadis", pohon itu sangat menawan pada musim gugur seperti saat ini. Itulah yang menjadi alasan Tuole ramai oleh wisatawan yang ingin menikmati indahnya pemandangan dedaunan menguning yang perlahan-lahan rontok ditiup angin.

Alasan itu pula yang melandasi digelarnya Forum Tuole setiap bulan November sehingga sangat tepat ditawarkan kepada wisatawan, khususnya di wilayah Asia Tenggara, yang ingin liburan pada musim gugur


Absennya Indonesia

Forum Tuole tidak hanya membahas masa depan kerja sama China-ASEAN dalam meningkatkan kapasitas produksi di bidang industri, teknologi, energi, konstruksi, pertanian, pangan, dan investasi.

Pada tahun ini, pertemuan yang digelar selama tiga hari, 9-11 November, juga mengagendakan pembahasan peningkatan kapasitas produksi di bidang pariwisata pegunungan.

Agenda ini menjadi sangat penting bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia yang pada tahun ini menargetkan kunjungan 2,5 juta wisatawan China. Sayangnya, Indonesia tidak mengirimkan delegasi yang memahami dan menguasai bidang pariwisata dalam forum tersebut, termasuk pelaku usaha sektor itu.

Beberapa negara ASEAN lainnya, termasuk China, selaku tuan rumah, mampu memanfaatkan forum tersebut sebagai sarana promosi objek wisata mereka.

Delegasi menekan tombol layar sentuh pada pembukaan Forum Tuole: Kerja Sama China-ASEAN untuk Peningkatan Kapasitas Produksi, Kamis (9/11/2017). (ANTARA/M. Irfan Ilmie)


Bahkan, industri pariwisata Thailand berhasil menjadikan forum tersebut menjadi ajang penandatanganan kemitraan strategis dengan perusahaan dari Panzhou yang siap melakukan investasi infrastruktur wisata di negeri Gajah Putih itu.

Sangat disayangkan memang absennya Indonesia di ajang strategis tersebut, mengingat situasi saat ini Indonesia membutuhkan investasi asing untuk memenuhi 80 persen pembangunan infrastruktur yang tidak dibiayai oleh APBN.

Apalagi pemerintah Indonesia juga sedang bekerja keras menarik investor untuk pengembangan tujuh Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sehingga forum tersebut tidak hanya ajang untuk menarik wisatawan dari China belaka.

Alhasil, Indonesia tidak hanya gagal dalam memanfaatkan peluang melainkan juga tidak terlibat langsung dalam perumusan tiga poin penting dalam pembangunan objek wisata pegunungan.

Ketiga poin yang disepakati tersebut adalah ASEAN-China mendorong pembangunan objek wisata baru dengan saling memberikan dukungan dan saling mengirimkan wisatawan dari kedua belah pihak.

Kedua, menyusun platform baru wisata alam dan melakukan strategi pemasaran bersama untuk meningkatkan jumlah kunjungan di kedua belah pihak.

Dan terakhir, mendorong investasi dua arah di sektor pariwisata dengan tetap mengacu pada program pembangunan di masing-masing negara.

"China dan ASEAN merupakan salah satu sumber utama wisatawan dan jumlah kunjungan wisata di kedua belah pihak makin meningkat," kata Wakil Wali Kota Liupanshui, Chen Ping, menggarisbawahi pentingnya agenda kerja sama pariwisata pegunungan China-ASEAN.

Sekretaris Ketiga Bidang Ekonomi KBRI Beijing, Evan Pujonggo, satu-satunya delegasi dalam forum tersebut menyesali hal itu.

"Mungkin karena kita belum fokus pada mountain tourism (pariwisata pegunungan)," ujarnya menduga-duga.

Peluang lainnya yang terlewat begitu saja bagi Indonesia adalah agenda pembahasan di bidang energi.

"Sayang tidak ada perwakilan dari Indonesia di agenda pembahasan power plant. Sebenarnya untuk energi kita juga lagi mendorong banyak proyek, khususnya di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan sejumlah pembangkit listrik lainnya," kata diplomat muda asal Pasuruan, Jawa Timur, yang turut menjadi pembicara dalam pembukaan forum tersebut.

Oleh karena dirancang sebagai "Davos"-nya China, Forum Tuole merupakan ajang pertemuan para pelaku usaha di berbagai bidang dalam mewujudkan kerja sama China-ASEAN yang saling menguntungkan dengan mengutamakan kesetaraan.

"Forum ini menginginkan peran pemerintah tidak terlalu banyak. Pelaku industri dan bisnis menjadi think tank yang terlibat aktif dan berkontribusi memberikan rekomendasi bagaimana kerja sama China-ASEAN, termasuk Indonesia, ke depan," kata Evan.

Indonesia sepertinya masih "membaca" kalau tidak hanya sekadar "mereka-reka" sehingga belum pada tahap "memanfaatkan" sejumlah peluang dari forum yang digelar di alam perdesaan yang sejuk dan berpenduduk ramah tersebut untuk dikonversikan menjadi modal pembangunan nasional berkelanjutan.


Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017