Jakarta (ANTARA News) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Senin mengunjungi Polres Jakarta Barat untuk mendalami kasus dugaan kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu N kepada anaknya G (5 tahun) hingga anaknya meninggal dengan alasan anak masih mengompol.

"Mendalami kasus ini, KPAI menghimbau agar orang tua perlu memahami setiap fase tumbuh kembang anak dengan baik. Pada kasus anak G yang sebulan terakhir dianggap sering mengompol seharusnya dipahami sebagai alarm bahwa anak ini dalam masalah perkembangan atau kesehatan," kata Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati kepada wartawan.

Rita yang merupakan Komisioner Bidang Pengasuhan KPAI mengatakan saat ini proses penggalian informasi lebih lanjut terhadap pelaku masih terus berlangsung. Kondisi pelaku masih sangat labil. KPAI menyarankan Kanit PPA menghadirkan pendampingan psikologi dan atau psikiater kepada pelaku.

Penggalian keterangan dari pihak-pihak terkait, kata dia, masih terus akan berlangsung. Saat ini keluarga besar N masih dalam situasi duka sehingga masih membutuhkan waktu untuk proses penggalian keterangan.

Melihat proses hukum yang berjalan saat ini, lanjut dia, KPAI memandang proses penanganan kasus itu masih sesuai dengan aturan penegakan hukum yang berlaku.

"KPAI ingin memastikan proses hukum terhadap pelaku berjalan sesuai aturan yang berlaku. Selain itu, KPAI ingin mengambil pelajaran agar kasus sejenis tidak terjadi lagi," kata dia.

Rita mengatakan fase latihan toilet (toilet training) normalnya akan selesai pada anak usia tiga tahunan. Dalam kasus anak G, anak diduga sudah merasakan tekanan psikologis yang luar biasa dan kehilangan kepercayaan kepada orang terdekat dalam hal ini ibu. Kecemasan pada anak G ini keluar dalam bentuk mengompol. Jika orang tua menyadari anak dalam masalah, seharusnya orang tua mengevaluasi pola asuhnya.

Belajar dari kasus itu, dia mengimbau kepada semua pihak yang melihat adanya dugaan kasus kekerasan terhadap anak dapat melaporkan kepada pihak kepolisian melalui Babin Kamtibmas yaitu perwakilan polisi di masing-masing kelurahan dan atau kepolisian terdekat dengan memberi tahu RT setempat.

Menurut dia, kekerasan di dalam rumah terlihat seperti urusan pribadi seseorang. Namun prinsipnya masyarakat dapat memberikan laporan kepolisian yang saat ini memiliki Unit Perempuan dan Anak.

"Pihak sekolah ananda G sebenarnya sudah menanyakan luka-luka yang ada di tubuh ananda G tapi ibu lebih banyak menghindar. KPAI berharap sekolah sebagai rumah kedua anak dan masyarakat sebagai fungsi kontrol perlindungan anak dapat melaporkan kepada pihak berwajib jika ada dugaan tindak kekerasan," kata dia.

Melihat kondisi psikologis pelaku, Rita mengatakan KPAI mendorong pemerintah untuk terus mensosialisasikan lembaga-lembaga yang dapat membantu mencari jalan keluar dari persoalan anggota masyarakat khususnya persoalan anak, perempuan dan keluarga misalnya P2TP2A, di RPTRA, LK3 dan lainnya.

Masyarakat, kata dia, juga perlu mengetahui ke mana masyarakat dapat berkonsultasi dan atau meminta bantuan terkait persoalan pribadinya. Selain itu, masyarakat dapat pula mengajak anggota masyarakat yang dianggap rentan ke tempat-tempat yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut.

"Pada kasus ini, ibu N adalah `single parent` (mengasuh sendiri) dan sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang yang ada di sekelilingnya untuk terus bertahan tetapi tidak tahu harus ke mana. Pelaku menyatakan sangat menyesal dengan perbuatannya. Dia menyampaikan pesan kepada semua orang tua untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak dan melampiaskan kekesalan kepada anak. Penyesalan hanya akan hadir di belakang," kata dia. 

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017