Jakarta (ANTARA News) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2017 sebesar 5,06 persen, yang didukung oleh membaiknya kinerja ekspor maupun investasi.

Pada periode ini, ekspor tercatat tumbuh sebesar 17,27 persen, diikuti Pembentukan Modal Tetap Bruto sebesar 7,11 persen, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga sebesar 6,01 persen, konsumsi rumah tangga 4,93 persen dan konsumsi pemerintah 3,46 persen.

Meski ekspor dan investasi menunjukkan tanda-tanda perbaikan sepanjang 2017, namun persoalan konsumsi rumah tangga yang makin melambat mulai menjadi perhatian tersendiri.

Konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2017 sebesar 4,93 persen tercatat sedikit melambat dibandingkan triwulan II-2017 yang mencapai 4,95 persen. Realisasi itu bahkan lebih rendah dibandingkan periode triwulan III-2016 yang tercatat 5,01 persen.

Permasalahan ini menjadi penting karena konsumsi rumah tangga tercatat memberikan kontribusi terbesar terhadap struktur PDB Indonesia yaitu mencapai 55,68 persen pada triwulan III-2017.

Perlambatan di sektor ini terlihat dari turunnya pertumbuhan dari komponen makanan dan minuman, pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga, dibandingkan triwulan sebelumnya.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan salah satu penyebab konsumsi rumah tangga tidak tumbuh optimal pada periode ini adalah karena adanya pergeseran pola konsumsi masyarakat.

Ia menjelaskan saat ini mulai terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat dari yang awalnya bersifat pembelian barang atau ritel (non-leisure) kepada yang bersifat kegiatan waktu luang atau rekreasi (leisure).

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mempelajari terlebih dulu penyebab terjadinya kelesuan di sektor konsumsi rumah tangga, terkait kemungkinan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat.

Menurut dia, tidak ada persoalan daya beli yang mengganggu masyarakat, yang diduga menjadi penyebab konsumsi rumah tangga tidak tumbuh optimal dalam dua triwulan terakhir, terutama pada kelompok menengah atas.

Ia menduga fenomena lesunya konsumsi domestik ini terjadi karena perubahan pola konsumsi dari masyarakat menengah atas atau adanya aktivitas ekonomi yang belum sepenuhnya terekam oleh BPS.

"Sebetulnya masyarakat atas yang memiliki daya beli, menyimpan uangnya di bank. Ini berarti masalah, apakah mereka berubah dari sisi pola konsumsi dan perubahan itu belum terekam dari seluruh konsumsi yang dicatat BPS? Itu yang kami mau pahami," ujarnya.

Saat ini kelompok masyarakat menengah atas memiliki banyak simpanan tabungan di perbankan karena pertumbuhan tabungan diatas Rp5 miliar dan jumlah dana pihak ketiga sedang meningkat.

Meski demikian, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini belum bisa menjelaskan alasan kelompok tersebut terlihat menahan belanja padahal tingkat kepercayaan konsumen sedang berada dalam kondisi yang tinggi.

Laju inflasi yang relatif rendah hingga menjelang akhir tahun seharusnya bisa menjadi insentif bagi masyarakat untuk berbelanja agar konsumsi rumah tangga tetap bisa memberikan kontribusi signifikan terhadap kinerja perekonomian.

Kelompok menengah bawah justru terindikasi mengalami gangguan daya beli dalam periode ini karena pertumbuhan upah di tingkat petani sangat rendah, sehingga dibutuhkan keterlibatan pemerintah.

Untuk itu, pemerintah terus berupaya memberikan bantuan sosial kepada masyarakat miskin dan kurang mampu yang telah dialokasikan secara rutin dalam APBN agar daya beli tetap terjaga dan pola konsumsi tidak terganggu.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan saat ini kelompok menengah atas melakukan investasi di pasar saham, sebagai upaya dari pemanfaatan dana repatriasi dari program amnesti pajak.

Perubahan pola konsumsi ini yang belum sepenuhnya terekam dengan baik karena fenomena tersebut belum pernah terjadi sebelumnya di perekonomian Indonesia.

"Sebetulnya memang di ekonomi kita beberapa hal belum bisa dijelaskan dengan cukup baik. Misalnya coba lihat kurs yang memburuk karena persoalan global, tapi IHSG malah membaik. Itu tidak pernah kejadian di ekonomi kita," ujar Darmin.

Selain itu, menurut dia, perubahan pola belanja dari konvensional menuju digital juga menjadi penyebab penutupan beberapa toko ritel dan turunnya kontribusi konsumsi rumah tangga kepada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Perlunya pembenahan
Meski belum diketahui alasan sebenarnya dari turunnya kinerja konsumsi rumah tangga, namun rendahnya pertumbuhan komponen pengeluaran ini harus segera menjadi perhatian pemerintah.

Untuk itu, upaya pembenahan harus diupayakan, salah satunya dengan mulai menjaga daya beli dan ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi nasional guna mendorong konsumsi domestik.

Peneliti lembaga Wiratama Institute Muhammad Syarif Hidayatullah menginginkan pemerintah agar mulai menyoroti persoalan daya beli masyarakat dalam rangka menggairahkan perekonomian nasional.

Tingkat upah yang stagnan selama beberapa tahun terakhir, lapangan pekerjaan baru yang mulai didominasi oleh pekerjaan setengah menganggur, hingga inflasi pangan yang masih relatif tinggi, bakal menggerus daya beli.

Selain itu, perlambatan ekonomi domestik dan permasalahan ekonomi global, menyebabkan ketidakpastian untuk kalangan menengah atas, sehingga ekspektasi ekonomi ke depan dinilai kurang baik.

Senior Associate Director Research Colliers International Ferry Salanto menambahkan pemerintah perlu membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan daya beli karena sangat penting sebagai upaya untuk melesatkan kinerja ritel yang saat ini dinilai sedang melesu.

Saat ini tingkat kebutuhan masyarakat sedang meningkat, namun tidak diiringi oleh membaiknya tingkat penghasilan yang setara untuk memenuhi biaya kebutuhan hidup.

Menurut Ferry, berdasarkan sejumlah kajian seperti dari Nielsen, konsumen ritel saat ini sudah mulai melakukan pengiritan dengan menurunkan biaya untuk kebutuhan tersier atau sekunder.

Pengamat ekonomi Hendri Saparini menambahkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat perlu diwaspadai mengingat struktur produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebagian besar disumbang oleh konsumsi.

Perlambatan konsumsi masyarakat itu perlu menjadi catatan penting apabila terjadi di golongan masyarakat bawah, atau yang meliputi sekitar 40 persen lapisan masyarakat.

Pemerintah perlu merespons fenomena tersebut agar tidak berkelanjutan atau bahkan dapat segera membalik tren perlambatan tersebut.

Respons pemerintah terhadap perlambatan konsumsi rumah tangga itu dapat menjadi langkah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2017 yang ditargetkan mencapai 5,2 persen.

Hendri berpendapat bahwa pemerintah perlu memperhatikan perihal tarif dasar listrik, mempercepat pembagian kartu bantuan sosial agar dapat segera digunakan oleh masyarakat golongan bawah untuk belanja, sekaligus menciptakan optimisme di kalangan usaha.

Tindakan apapun yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat memberikan dampak positif kepada konsumsi rumah tangga, karena saat ini sektor ekspor dan investasi sedang mengalami momentum pertumbuhan yang luar biasa.

Untuk itu, sangat disayangkan apabila ekonomi tidak bisa tumbuh optimal apabila terganjal oleh masalah konsumsi yang selama ini telah menjadi penopang pertumbuhan selama bertahun-tahun.

Apabila pemerintah telat mendiagnosa persoalan yang sesungguhnya dan gagal mengambil langkah penting untuk mengatasi permasalahan ini, maka ekonomi Indonesia hanya bisa stagnan pada kisaran lima persen.

Padahal, tantangan selanjutnya adalah pertumbuhan ekonomi di 2018 yang diasumsikan mencapai 5,4 persen. Suatu hal yang tidak mudah dicapai, ketika seluruh negeri mulai menyiapkan hajatan politik berskala nasional yaitu pemilihan kepala daerah secara serentak.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017