Jakarta (ANTARA News) - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sejak Minggu siang telah tiba di Filipina untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Ke-31 Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) yang bakal berlangsung hingga 14 November 2017.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada tahun ini terselenggara lebih istimewa daripada penyelenggaraan KTT sebelumnya karena bertepatan dengan momentum Peringatan 50 Tahun ASEAN atau Tahun Emas ASEAN.

Acara yang begitu padat pun telah tersusun. Pada hari Senin (13-11-2017) sejak pagi dimulai dengan upacara pembukaan KTT Ke-31 ASEAN dan KTT ASEAN dengan mitra strategisnya, kemudian dilanjutkan dengan Sidang Pleno KTT Ke-31 ASEAN, dan disambung dengan pertemuan para pemimpin negara anggota ASEAN dengan Dewan Penasihat Bisnis ASEAN serta PM India Narendra Modi dan PM Rusia Dmitry Medvedev.

Sebanyak 10 kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara-negara anggota ASEAN hadir, yakni Presiden RI Joko Widodo, Presiden Filipina Rodrigo Duterte selaku tuan rumah dan Ketua ASEAN 2017, Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, PM Kamboja Hun Sen, PM Malaysia Najib Razak, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Thailand Prayut Chan-o-cha, PM Laos Thongloun Sisoulith, Penasihat Negara/Menlu Myanmar Aung San Suu Kyi, dan PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc.

Setelah jamuan makan siang, berlangsung KTT Ke-5 ASEAN dan Amerika Serikat yang dihadiri 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN dan Presiden AS Donald Trump. Selanjutnya, berturut-turut berlangsung KTT ke-20 ASEAN dan Cina yang dihadiri oleh 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN dan Presiden Cina Xi Jinping, KTT Ke-19 ASEAN dan Republik Korea yang diikuti oleh 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN dan Presiden Korsel Moon Jae-in, dan KTT Ke-20 ASEAN dan Jepang yang dihadiri 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN dan PM Jepang Shinzo Abe.

Acara dilanjutkan dengan pertemuan 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN bersama Presiden Cina Xi Jinping, Presiden Korsel Moon Jae-in, PM Jepang Shinzo Abe, dan Dewan Bisnis Asia Timur. Pada KTT Ke-9 Mekong dan Jepang yang dihadiri pemimpin negara anggota ASEAN di sepanjang Sungai Mekong, yakni PM Kamboja Hun Sen, PM Thailand Prayut Chan-o-cha, PM Laos Thongloun Sisoulith, Penasihat Negara/Menlu Myanmar Aung San Suu Kyi, PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc, dan PM Jepang Shinzo Abe.

Serangkaian acara pada hari Senin ditutup dengan KTT Ke-9 ASEAN dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dihadiri 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN dan Sekjen PBB Antonio Guterres.

Serangkaian acara pada hari Selasa (14-11-2017) berturut-turut adalah KTT Peringatan 20 Tahun ASEAN + Tiga (Cina, Korsel, dan Jepang), KTT Peringatan 40 Tahun Hubungan ASEAN dan Kanada yang dihadiri juga oleh PM Kanada Justin Trudeau, KTT Peringatan 40 Tahun ASEAN dan Uni Eropa yang juga dihadiri oleh Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, jamuan makan siang, KTT Ke-12 Asia Timur, KTT Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang dihadiri 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN bersama PM Australia Malcolm Turnbull, PM Selandia Baru Jacinda Ardern, Presiden Cina Xi Jinping, Presiden Korsel Moon Jae-in, PM Jepang Shinzo Abe, dan PM India Narendra Modi.

Setelah itu, KTT Ke-15 ASEAN dan India yang dihadiri 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN bersama PM India Narendra Modi, kemudian upacara penandatanganan konsensus dalam perlindungan hak pekerja migran, lalu upacara penutupan seluruh rangkaian acara KTT serta serah terima Ketua ASEAN dari Filipina kepada Singapura sebagai Ketua ASEAN 2018.

Nah, bila ditelisik secara saksama seluruh rangkaian acara yang padat tersebut, didominasi oleh peran ASEAN dengan berbagai mitra strategisnya di kawasan lain. Hal itu menunjukkan pula bahwa dengan usia ASEAN yang telah 50 tahun makin menarik perhatian bagi para pemimpin negara-negara di kawasan lain untuk saling bekerja sama.

Persoalannya adalah apakah ASEAN cukup kuat dalam mengikat seluruh negara-negara anggota untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan regional ASEAN dan kedaulatan nasional masing-masing negara anggotanya.

Inilah salah satu persoalan besar yang juga berhasil ditangkap oleh Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Jose Tavares.

Salah satu tantangan yang harus dihadapi ASEAN adalah menerjemahkan berbagai kesepakatan di tingkat kawasan ke dalam peraturan nasional masing-masing negara anggotanya.

Sebagaimana disampaikan oleh Jose Tavares bahwa salah satu konvensi ASEAN yang hingga saat ini sulit diterapkan di masing-masing negara anggota, yakni terkait dengan pemberantasan terorisme, yang mencakup di antaranya pertukaran informasi intelijen dan kerja sama lintas negara. Polisi dan aparat keamanan masing-masing negara sudah sibuk sekali dengan kriminalitas dan persoalan dalam negeri mereka sendiri sehingga sulit mengadopsi peraturan regional ini menjadi tambahan pekerjaan buat mereka.

Dalam sebuah diskusi tentang ASEAN dalam Konferensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia, baru-baru ini, mantan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru itu bahkan menyampaikan bahwa menginjak 50 tahun usianya, ASEAN belum memiliki mekanisme yang dapat lebih memaksa negara anggotanya melaksanakan kesepakatan regional. Padahal, generasi muda saat ini menuntut peran ASEAN yang lebih efektif dan cepat bergerak untuk menangani isu-isu regional.

Salah satu isu terbesar yang harus dihadapi kini adalah menemukan keseimbangan yang tepat antara kedaulatan nasional dan kepentingan regional. Untuk itu, harus memiliki sebuah institusi yang mampu menjalankan wewenang ini.

Tampaknya perlu penguatan peran Sekretariat ASEAN untuk menemukan formulasi keseimbangan yang tepat antara kedaulatan nasional dan kepentingan regional agar Sekretariat ASEAN tidak hanya menjadi institusi yang mengurus soal administratif.

Dengan difasilitasi lebih banyak dana dan otoritas, Sekretariat ASEAN diharapkan memiliki badan-badan khusus yang dapat mengawal implementasi kesepakatan regional di tingkat nasional, berbasis pada isu kolektif yang dihadapi negara-negara anggota. Komisi Hak Asasi Manusia Antarnegara ASEAN (The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR), misalnya, harus berkembang menjadi badan yang lebih kuat yang dapat menangani bahkan isu-isu sensitif HAM di kawasan ASEAN.

Bagi Indonesia yang turut mendirikan ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967, tentu saja ASEAN menjadi amat penting dalam menjalankan kiprahnya di tingkat regional, bahkan hingga ke dunia internasional.

Apalagi, dengan melihat perkembangan ASEAN bukan sekadar sebagai organisasi regional, melainkan juga sebagai wadah bagi kontribusi kepada dunia.

Memang harus diakui bahwa ASEAN telah mampu memberikan banyak hasil positif, misalnya, dalam keamanan di Asia Tenggara. Sejak ASEAN berdiri, tidak ada satu pun perang atau konflik terbuka yang terjadi di antara sepuluh negara anggota ASEAN. Hal itu membuktikan salah satu fungsi ASEAN sebagai organisasi pencegah konflik.

Hal itu juga menunjukkan bahwa ASEAN meskipun terdiri atas berbagai negara yang berbeda-beda, kerap mengedepankan toleransi dan harmoni sehingga ASEAN bisa mencapai usia emasnya.

Diplomasi Indonesia untuk ASEAN sangat jelas bahwa Indonesia turut mendorong semangat untuk berdialog, menyampaikan pendapat dalam hubungan antarnegara anggota ASEAN dan negara-negara di luar kawasan ASEAN. Indonesia juga selalu memperjuangkan kestabilan dan keamanan regional dengan cara menawarkan bantuan kepada negara anggota lain dan mencegah konflik serta kejahatan lintas negara.

Agar kepentingan regional ASEAN lebih mengemuka sehingga berimbang dengan kedaulatan nasional masing-masing anggota ASEAN, tampaknya perlu juga mengupayakan sentralitas ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai inti dari kehidupan regional.

Sentralitas ASEAN itu penting karena jika hal itu tidak ada, dikhawatirkan akan membuat negara-negara ASEAN mudah dikendalikan oleh kekuatan besar dari luar.

Bagimanapun satu ikat sapu lebih kuat dibanding sebatang lidi. Begitu pula dengan ASEAN yang menjadi tempat berhimpun 10 negara di kawasan Asia Tenggara, jangan hanya puas telah memasuki usia emasnya. Namun, yang lebih penting dari itu semua adalah ASEAN harus masuk ke masa keemasannya.

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017