Jakarta (ANTARA News) - Kemajuan industri pengolahan atau hilir terbukti memberikan dampak positif terhadap industri hulu. Hal inilah yang dialami oleh petani di Desa Bojongmengger, Kab. Ciamis, Jawa Barat. Meskipun hanya skala UKM yakni melalui Kelompok Wanita Tani (KWT) KWT Shalisa.

Para srikandi tersebut berusaha agar kearifan lokal yang dimiliki desanya menjadi hidup kembali.  KWT yang dipimpin oleh Iis Sutarsih tidak menyangka bahwa apa yang dilakukan akan memberikan dampak yang signifikan secara meluas.

“Biar jangan duduk-duduk untuk menggosip saja” kata Iis Sutarsih ketika ditanyai awal mula terbentuknya KWT. Ubi kayu atau singkong menjadi cikal bakal kegiatan produktif KWT.

Singkong diubah menjadi tepung untuk kebutuhan pembuatan aneka pangan lokal. Tidak hanya singkong sumber pati lokal lainnya seperti ubi jalar, ganyong, pisang dan nangka juga dijadikan tepung. Namun, semangat Iis menurun tatkala produknya terkendala pasar. Jika tidak diolah sendiri, aneka tepung lokal tersebut hanya disimpan, menunggu ada yang pesan.

Pada tahun 2015, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) dalam upaya memperderas alih teknologi melakukan kegiatan Inkubasi Teknologi, jelas Dr. Retno Sri Hartati Mulyandari, Kepala Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (BPATP).

Tujuannya agar teknologi yang dihasilkan dapat termanfaatkan secara meluas. Konsepnya sama seperti merawat bayi di tabung inkubator, mitra atau tenant akan didampingi untuk menerapkan teknologi Balitbangtan hingga mandiri. Yang menjadi tenant bisa berasal dari skala industri atau UKM yang akan dibina.

Pada saat proses penjaringan tenant, KWT Shalisa menjadi target. Seminggu lamanya Iis Sutarsih dimagangkan di bawah bimbingan peneliti yang berasal dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen), Balitbangtan.

Teknologi yang diberikan adalah bagaimana mengolah tepung berbahan dasar singkong menjadi tepung yang setara dengan kualitas tepung terigu bahkan memiliki keunggulan dari sisi kesehatan yakni free gluten. Tepung tersebut dikenal dengan nama "Tepung Mocaf".

Pendampingan intensif selain produksi juga dilakukan seperti penyusunan rencana usaha, pengemasan, promosi hingga ke pemasaran. Iis diberikan pemahaman bagaimana mengelola usaha secara komersial tanpa meninggalkan prinsip dasar KWT yakni memberdayakan.

Hingga kini, KWT Shalisa sangat kompak dalam memproduksi tepung mocaf dan kegiatan lainnya. Bahkan ketika menghadapi tantangan kekurangan bahan baku, iis turun langsung ke lapangan.

“Tanam singkongnya Pak, nanti saya yang beli” ucap Iis yang tak segan mendatangi petani dari rumah ke rumah.

Data BPS tahun 2015 memang menunjukkan bahwa Provinsi Jabar menempati posisi ke empat dalam produksi singkong setelah Provinsi Lampung, Jateng dan Jatim, namun pada saat di lapangan, singkong bisa sulit ditemukan. Keengganan petani menanam adalah karena harga yang tidak menjanjikan dan tidak adanya kepastian pasar.

Hari ini, jika mengunjungi rumah Iis Sutarsih, akan terlihat proses produksi. Cukup banyak petani yang rutin menyalurkan hasil panen singkongnya. Bagaimana tidak, Iis harus memenuhi permintaan pasar atas aneka tepung lokalnya secara online, kebutuhan sendiri untuk aneka panganan yang semakin beragam, ataupun permintaan langsung yang datang dari berbagai daerah. Bahkan, produk Iis sudah dapat ditemukan di salah satu Pasar Retail yang ada di Bogor.



(MP)


Pewarta: System
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017