Jakarta (ANTARA News) - Belum terlupakan kasus Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman periode 2014-2019 yang terpaksa meninggalkan kursi jabatannya di lembaga negara itu.

Irman ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumahnya pada Sabtu dinihari 17 September 2016 terkait suap kasus rekomendasi impor gula dan dijatuhi vonis empat tahun enam bulan oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 20 Februari 2017.

Kini giliran Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto periode 2014-2019 terancam menanggalkan jabatannya sebagai pemimpin lembaga negara di parlemen itu.

Setya Novanto resmi menjadi tahanan KPK sejak Jumat 17 November 2017 di Rutan Negara Kelas 1 Jakarta Timur Cabang KPK setelah menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan KTP elektronik. Penetapan dia sebagai tahanan berlangsung saat dia masih dirawat di RSCM Jakarta setelah mengalami kecelakaan tunggal pada Kamis (16/11) malam.

Setnov, panggilan akrab politisi yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar itu, bahkan pernah mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR RI pada Rabu 16 Desember 2015 di tengah proses persidangan atas dirinya di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dalam kasus pertemuan antara Setya Novanto, pengusaha minyak M. Riza Chalid, dan Dirut PT Freeport Indonesia Ma`roef Sjamsoeddin di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, pada 8 Juni 2015.

Dia sempat digantikan oleh Ade Komarudin tetapi Setnov kembali lagi menjabat Ketua DPR sejak 30 November 2016 setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatannya dalam uji materi terkait penyadapan atas dirinya dalam pertemuan dengan petinggi perusahaan tambang dan pengusaha itu sehingga nama baik dan jabatannya dikembalikan kepadanya.

Kini tampaknya mustahil bagi Setnov dapat kembali menduduki jabatannya sebagai Ketua DPR setelah menjadi tahanan KPK karena harus menjalani proses hukum terkait dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun 2011-2012 yang merugikan keuangan negara triliunan rupiah.

Sementara pada empat tahun lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar ditangkap oleh KPK pada Rabu 2 Oktober 2013 dan dipenjarakan karena menerima suap dalam kasus sengketa pilkada.

Sejumlah kasus hukum yang menimpa pemimpin lembaga negara itu tentu saja mengundang keprihatinan publik karena bukan merupakan contoh yang baik dalam penyelenggaraan negara.

Lembaga negara di lingkungan parlemen saja, dari tiga lembaga negara, sudah dua kali menimpa pemimpinnya. Jabatan Irman Gusman kini sudah digantikan oleh Oesman Sapta yang merangkap sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.

Ketua MPR Zulkifli Hasan bahkan menggambarkan bahwa dua koleganya di parlemen sudah berpindah "kantor" dari Senayan ke penjara sehingga tinggal dirinya yang pimpinan parlemen periode 2014-2019 yang tersisa.



Ambil sikap

Di atas tadi disebutkan bahwa Setnov terancam menanggalkan jabatannya sebagai pemimpin lembaga negara di parlemen. Hal itu karena MKD segera mengambil sikap setelah Setnov ditahan oleh KPK sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai pimpinan DPR.

Sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua MKD DPR Sarifuddin Sudding bahwa Pasal 37 dan Pasal 87 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan bahwa pergantian pimpinan DPR bisa dilakukan manakala yang bersangkutan tidak melaksanakan tugasnya secara berkelanjutan atau selama tiga bulan tidak bisa melaksanakan tugasnya.

Pimpinan DPR bisa diberhentikan manakala melanggar etika dalam kode etik karena menyangkut masalah integritas.

Ketika Ketua DPR tidak bisa melaksanakan tugas-tugasnya maka itu menyangkut masalah marwah DPR yang diamanatkan dalam tata tertib dan hukum acara MKD.

Untuk itu MKH perlu mengundang pimpinan fraksi-fraksi untuk meminta pandangannya terkait posisi Setnov yang sedang ditahan untuk menjalani proses hukum.

Dalam pasal 83 Tata Tertib DPR disebutkan bahwa pergantian pimpinan DPR dilakukan fraksinya atas rekomendasi MKD.

Hal yang patut dicermati juga bagaimana sikap Fraksi Partai Golkar mengenai soal penahanan Setnov tersebut. Partai Golkar yang berwenang menarik, mengusulkan, mempertahankan ataupun mengganti kadernya yang duduk di kursi Pimpinan DPR selama proses hukum itu masih berjalan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap.

Pergantian Ketua DPR antara lain juga bergantung bagaimana sikap fraksi partai berlambang pohon beringin itu.

Hal itu diakui oleh Wakil ketua DPR Agus Hermanto dari Fraksi Partai Demokrat bahwa pimpinan DPR tidak ikut campur dalam menentukan bagaimana sikap Fraksi Partai Golkar seharusnya menghadapi.

Namun semua pihak harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan dalam kasus tersebut, karena kasus Setnov itu sudah memasuki ranah hukum sehingga aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk ambil putusan.



Budaya malu

Kenyataan bahwa kasus yang menimpa Irman dan Setnov itu merupakan peristiwa bersejarah dalam nilai-nilai kredibilitas dan akuntabilitas pejabat publik yang memimpin lembaga negara di negeri ini.

Selain itu, merupakan rekor terbaru bahwa dalam kurun sekitar setahun, keduanya harus menjalani proses hukum dari balik jeruji.

Kenyataan itu memperpanjang deretan pejabat negara yang sebelumnya juga telah ditahan oleh KPK dalam kasus korupsi seperti para politisi, kepala daerah, pejabat birokrasi, hingga pengusaha.

Kenyataan itu juga menunjukkan bahwa saat ini sulit menemukan figur yang dapat memberikan keteladanan dalam kepemimpinan, termasuk dalam penegakan etika.

Pemimpin lembaga negara semestinya dapat menjaga kehormatan sebuah lembaga negara dan akan memberikan harapan kepada publik serta sekaligus sebagai pendidikan politik yang sangat berharga bahwa etika masih dihormati di Indonesia.

Budaya malu perlu dikedepankan sebab seberapa besar tingkat kesalahan seseorang akan mempengaruhi kinerja suatu organisasi.

Jika yang bersangkutan salah, lantas mundur dan melepas jabatannya, hal itu merupakan sikap terpuji sebelum ke depannya merugikan banyak orang.

Hal itu bisa dilihat dari budaya malu di Jepang, misalnya, orang setingkat perdana menteri atau menteri saja mundur karena berbuat salah, tanpa diminta. Bahkan, ada yang melakukan harakiri atau bunuh diri karena budaya malu yang sedemikian kuat.

Budaya malu (shame culture) sejatinya merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia, termasuk Indonesia. Intinya merupakan wujud hati nurani yang benar, bukan hanya di permukaan saja atau cari-cari publisitas.

Apalagi di negeri ini yang dikenal sebagai bangsa yang religius. Dalam Islam, misalnya, mengejar jabatan sangat dijauhkan karena jabatan yang diemban itu melekat tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya. Amanah itu harus dipertanggungjawabkan.

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017