Ateisme sebagai subyek bahasan kalangan intelektual di Tanah Air kian memperoleh ruang ketika demokrasi makin kukuh sejak reformasi menumbangkan otoritarianisme.

Berkah demokrasi yang memungkinkan banyak pemikir membicarakan ateisme di Indonesia, antara lain, berupa lenyapnya rasa takut yang mengiringi lenyapnya pemerintahan otoriter.

Di bawah rezim otokratik, warga negara tak punya nyali untuk mengungkapkan pikiran-pikiran liberal yang tak sejalan dengan ideologi sang penguasa. Ketika sang penguasa menancapkan citra dirinya sebagai pemimpin yang religius di hadapan rakyat, tak seorang pun berani menampilkan jati dirinya sebagai antitesis dari keyakinan sang penguasa.

Idem ditto untuk penguasa otoriter yang memutuskan memilih komunisme dengan landasan ateisme sebagai fondasi ideologisnya. Ketika Uni Soviet digdaya, dengan ideologi komunismenya yang menancap kuat di ruang-ruang publik, institusi keagamaan tak ditoleransi untuk eksis.

Hanya dalam sistem politik demoktatis publik memperoleh kemerdekaan untuk membahas dan mengimani ideologi atau keyakinan personal tanpa ketakutan untuk dicederai, dihukum bahkan dibunuh.

Lewat forum kuliah dalam jaringan yang dipublikasikan di Qureta, laman perbincangan pemikiran sosial politik filsafat dan agama, yang disampaikan intelektual Islam Luthfi Assyaukanie, wacana ateisme itu dikupas, dikaitkan dengan pandangan Islam terhadapnya.

Menurut aktivis kebebasan beragama itu, di kalangan pemikir Islam ada dua kelompok, yakni mereka yang liberal dan konservatif. Kelompok pertama menoleransi eksistensi kaum ateis dengan mendasarkan ayat Quran yang menyatakan bahwa tak ada paksaan dalam beragama. Ayat itu, demikian kesimpulan Luthfi, menyiratkan bahwa ateis punya hak hidup di bumi.

Sementara kelompok kedua menyatakan bahwa ateisme merupakan bentuk kekufuran paling tinggi karena menyangkal eksistensi Yang Maha Pencipta.

Bagaimanakah posisi pengikut ateisme di Tanah Air yang landasan ideologi dasarnya, sebagaimana tersurat pada sila pertama Pancasila yang berbunyi: Ketuhanan yang Maha Esa?

Atas pertanyaan ini, Guru Besar Hukum Tata Negara Mahfud Md. mengatakan bahwa Pancasila tak bisa digunakan untuk menghukum warga yang berpendirian berbeda dengan dasar ideologi negara itu.

Menurut Mahfud, yang menyebabkan dihukumnya seseorang adalah tindakannya yang melanggar undang-undang, bukan melanggar Pancasila. Dia mencontohkan bahwa kalau ada orang yang percaya pada keadilan personal dan bukan keadilan sosial sebagaimana diformulasikan pada sila kelima Pancasila, orang itu tak bisa dihukum.

Begitu juga dengan pilihan warga yang tak selaras dengan sila pertama. Orang yang meyakini ateisme, dengan demikian, tak bisa dihukum berdasarkan sila pertama Pancasila.

Para aktivis kebebasan beriman berpendapat bahwa konsep kebebasan berkeyakinan tidak terbatas pada kebebasan memilih agama A, B, C, D, dst., tetapi juga bebas untuk tak berkeyakinan alias menjadi pemeluk ateisme.

Dalam perbincangan kebebasan beragama, ateisme sebenarnya hanya satu varian dari keberimanan nonteis. Masih ada satu lagi yang bertolak belakang dengan teisme selain ateisme, yakni agnostisisme. Para awam sering menyamaratakan agnostisisme dengan ateisme, padahal keduanya berbeda sekali bagaikan bumi dan bulan.

Jika ateisme dimaknai sebagai keyakinan yang berlandasan ide bahwa Tuhan tidak ada, dan teisme mengandung pengertian bahwa Tuhan itu ada, agnostisisme berada di posisi netral. Artinya, kaum agnostik tidak tahu bahwa Tuhan itu ada atau tidak ada.

Itu sebabnya, argumen ateisme menafikkan teisme sungguh simetris dengan argumen teisme dalam menyangkal ateisme. Keduanya punya absolut pendakuan bahwa Tuhan itu tidak ada (klaim absolut ateisme) dan Tuhan itu ada (klaim mutlak teisme). Agnostisisme, tokohnya antara lain matematikawan Inggris Bertrand Russell yang memilih tidak punya klaim absolut apa pun tentang ada dan tidak adanya Sang Khalik.

Kalangan pemeluk empirisme cenderung memilih agnostisisme. Baik ateisme maupun teisme adalah kalangan yang mendasarkan argumennya lebih pada rasionalisme dengan metode deduktifnya.

Mungkinkah sila pertama ideologi dasar Pancasila yang merefleksikan pengakuan atas Ketuhanan yang Maha Esa itu dikonkretkan menjadi undang-undang yang bisa menghukum warga negara yang tak beragama?

Dalam alam demokrasi, jawab atas pertanyaan itu jelas mungkin. Semua itu terpulang pada legislator di parlemen. Ketika mayoritas wakil rakyat di Senayan sepakat untuk membuat pasal-pasal yang melarang warga negara untuk menjadi ateis dan pelanggaran atas peraturan itu bisa dipenjara, jadilah undang-undang yang melarang ateisme.

Namun, undang-undang semacam itu hanya akan melahirkan kaum munafik yang secara lahir bisa saja mengaku beragama namun secara batin sesungguhnya meyakini ateisme.

Seperti diyakini pakar politik dan pemikir demokrasi di mana pun, demokrasi tak mengatur tentang keyakinan atau iman warga negara. Yang diatur demokrasi adalah seputar tindakan manusia dalam penataan pemerintahan dengan landasan persamaan warga di hadapan hukum, menjunjung tinggi keadilan dan kemerdekaan berpendapat serta berserikat.

Soal apakah anda menyembah Tuhan Yang Maha Esa, Dewa Api, Dewa Matahari, atau tak menyembah apa-apa bukanlah urusan demokrasi.

Di negara-negara demokratis, tak sedikit para tokohnya yang memeluk ateisme. Amartya Sen, pemenang Nobel untuk ekonomi dari India, Stephen Hawking, fisikawan yang dipandang sebagai titisan Albert Einstein, dan aktris Hollywood Angelina Jolie serta Jodie Foster adalah beberapa contoh pemeluk ateisme.

Agar tak dinilai kurang adil, perlu juga disebutkan bahwa tokoh hebat yang tetap memeluk teisme di negara-negara demokratis juga tak sedikit.

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017