Manado (ANTARA News) - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menemukan sebanyak tujuh Wajib Pajak tercatat kurang bayar senilai Rp5,7 miliar setelah melakukan pemeriksaan pasca pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 mulai September lalu.

"Sudah diterbitkan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) tujuh Wajib Pajak, nilainya Rp5,7 miliar," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama dalam acara media gathering di Manado, Rabu.

Hestu mengatakan upaya pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menjalankan penegakan kepatuhan sesuai PP 36/2017 dan tercatat sebanyak 770.000 Wajib Pajak belum melaporkan harta maupun aset dengan benar serta kebanyakan tidak mengikuti program amnesti pajak.

Dari jumlah tersebut, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan data prioritas mencakup 27.777 Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan maupun Kantor Wilayah untuk dilakukan pemeriksaan pajak, setelah melalui proses validasi.

"Dari angka itu, 6.830 sudah diteliti dan ditindaklanjuti, untuk masuk kesimpulan, valid atau tidak. Kemudian 951 instruksi pemeriksaan telah diusulkan KPP kepada Kanwil, dan yang sudah ditindaklanjuti sebanyak 811. Dari jumlah itu, sudah ada 68 laporan hasil pemeriksaan," ujar Hestu.

Hestu menjelaskan jumlah kurang bayar tersebut dapat bertambah karena proses pemeriksaan DJP kepada Wajib Pajak terus berlangsung dan tidak ada batas waktu.

Untuk itu, Hestu mengharapkan Wajib Pajak yang belum melaporkan harta dan aset dengan benar sesuai SPT segera melakukan deklarasi harta maupun aset sebelum DJP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Pajak.

Ia juga memastikan proses pemeriksaan dilakukan apabila data yang ditemukan benar-benar valid dan DJP bekerja secara profesional dalam memutuskan sehingga Wajib Pajak masih memiliki waktu untuk melakukan pembetulan SPT.

"Prioritas kita tidak yang ikut amnesti pajak, artinya manfaatkan sebaik-baiknya sebelum SP2 terbit. Kita juga menindaklanjuti secara profesional, jadi SP2 diterbitkan kalau datanya valid," ujar Hestu.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan PP 36/2017 yang merupakan tindak lanjut dari penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 mengenai Pengampunan Pajak dan konsekuensi lanjutan dari penerapan program amnesti pajak yang telah berakhir pada akhir Maret 2017.

Garis besar dari peraturan ini adalah mengenai pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan yang diberlakukan terhadap tiga jenis kategori Wajib Pajak.

Wajib Pajak tersebut antara lain peserta program amnesti pajak yang belum melaporkan seluruh harta dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) dan peserta program amnesti pajak yang gagal melaksanakan komitmen repatriasi atau investasi dalam negeri.

Selain itu, peraturan ini juga berlaku kepada para Wajib pajak yang bukan peserta amnesti pajak dan belum mengungkapkan seluruh harta yang harus disampaikan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.

Skema tarif pajak penghasilan final yang dikenakan kepada tiga jenis kategori Wajib Pajak tersebut adalah sebesar 25 persen untuk kelompok Wajib Pajak Badan dan sebesar 30 persen untuk Kelompok Wajib Pajak Orang Pribadi.

Namun, DJP mengenakan tarif pajak penghasilan final yang lebih ringan yaitu sebesar 12,5 persen bagi kelompok Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi yang memenuhi persyaratan.

Untuk itu, Wajib Pajak yang secara sukarela mengungkapkan harta tersebut dengan membayar pajak penghasilan final sesuai tarif dalam PP 36/2017 yaitu sebesar 12,5 persen hingga 30 persen, sepanjang DJP belum menerbitkan SP2 Pajak, maka tidak dikenakan sanksi sesuai pasal 18 UU Pengampunan Pajak.

Sebagai penguatan dari pelaksanaan PP tersebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.03/2017 sebagai revisi dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 yang berlaku efektif mulai 20 November 2017.

Revisi itu dilakukan dalam rangka memberikan keadilan, pelayanan dan mendorong kepatuhan wajib pajak sekaligus sebagai bagian di dalam proses pelaksanaan UU Pengampunan Pajak.

Selain mengatur penyampaian pengungkapan harta, revisi PMK itu juga mengatur sengketa mengenai penerbitan SKPKB yang akan dilakukan menggunakan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pewarta: Satyagraha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017