Bogor (ANTARA News) - Ketua Asosiasi Perusahaan Public Relation Indonesia (APPRI) Suharjo Nugroho melihat ada korelasi antara suburnya "hoax" (berita palsu) di Tanah Air dengan rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia.

"Kenapa "hoax" laku di Indonesia, menurut saya ada dua. Pertama data dari Unesco menyebutkan minat baca di Indonesia itu 0,001 artinya satu orang dari 1.000 orang yang baca buku, sedikit banget," kata Suharjo dalam dialog Konvensi Nasional Humas (KNH) 2017 di Kota Bogor, Jawa Barat, Senin.

Data berikutnya dari hasil studi "Most Litered Nation in the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu Indonesia menduduki rangking ke 60 dari 61 negara paling rendah minat bacannya.

"Indonesia berada persis di bawah Thailand (59) dan di atas Bostawa, Afrika (61)

Alasan yang kedua lanjutnya, pengguna gawai (gadged) di Indonesia mencapai 60 juta, urutan kelima di dunia terbesar. Tahun depan jumlahnya diperkirakan akan naik menjadi 100 juta, dan akan menjadi rangking keempat di dunia.

"Masyarakat Indonesia itu menatap layar telepon genggam bisa berjam-jam. Menatap layar bisa lebih lama dari pada menatap pasangan sendiri," katanya.

Hasil studi lainnya juga menyebutkan masyarakaf Indonesia paling cerewet di dunia maya. Urutan kelima dalam meng-twet pesan di media sosial. Indonesia urutan kelima paling banyak ngetwet, diperparah lagi kebiasaan curhat di media sosial.

"Bayangkan orang yang ngak suka baca menatap gadget sembilan jam sehari, ya jadinya isinya hoax semua. Jadi kalau ngak baca hoax ya nyebarin hoax," katanya.

Hasil studi lainnya menyebutkan minat baca rendah tidak hanya terjadi pada orang yang berpendidikan rendah. Bahkan orang yang berpendidikan tinggi, juga ikut menyebarkan hoax dan kena "hoax" juga.

"Orang lebih banyak mengikuti media sosial lambe turah ketimbang kompas," kata Suharjo.

Menurut Suharjo masyarakat luar heran dengan peredaran "hoax" di Indonesia, karena di beberapa negara "hoax" tidak bisa beredar. Di Jepang tidak boleh menyebarkan hoax, di Tiongkok akan kena tembak, karena negara Komunis, sedangkan di Filiphina, orang yang menyebarkan hoax akan hilang entah kemana.

"Kalau di negara luar yang menyebarkan hoax adalah pemerintahnya, di Indonesia semua orang menyebarkan hoax," kata Suharjo.

Konvensi Nasional Humas 2017 dihadiri oleh 500 praktisi, akademisi, Perhumas seluruh Indonesia. Berlangsung selama dua hari 27-28 November 2017. Hari pertama diisi dengan seminar dan dialog, salah satu sesi dialog membas tentang Indonesia berbicara baik dan peta jalan kehumasan Indonesia kolaborasi forum kehumasan.

Sesi ini menghadirkan pembicara Rosita Niken W selaku Ketua Badan Koordinasi Kehumasan Masyarakat (Bakohumas), Dwi Pungky (Bank Indonesia), Ahmad Reza (Ketua Forum Humas BUMN), Endah Kartikawati (Ketua Ikatan Pranata Humas), Prita Kemal Gani (Ketua ASEAN Public Relations Network), Suharjo Nugroho (Ketua APPRI).

Menurut Rosita saat ini banyak info negatif yang tujuannya menimbulkan emosi pada publik. Ada upaya-upaya agar penduduk tidak percaya pada pemimpin.

"Untuk bisa bicara baik, perlu upaya untuk mengeliminasi informasi yang buruk (ujaran kebencian, hoax) yang setiap saat membanjiri media sosial," kata Rosita.

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017