Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Agama menyebut radikalisme di dunia pendidikan justru tumbuh di sekolah umum dengan salah satu pemicunya waktu ajar pendidikan agama yang sedikit sehingga pemahaman terhadap agama menjadi tidak optimal dan menyeluruh.

Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag Amsal Bakhtiar mengatakan porsi pendidikan agama di sekolah nonagama umumnya hanya dua jam setiap pekan sehingga materi keagamaan menjadi kurang.

"Di sekolah umum bisa saja itu pengaruh dari guru-guru nonagama lebih dominan dari guru agama karena guru agama cuma dua jam seminggu tapi guru mapel lain interaksi dengan murid cukup banyak," kata dia.

Menurut dia, hal itu menjadi berbeda dengan sekolah agama seperti madrasah yang justru lebih menekankan pendidikan Islam yang moderat lewat materi yang disampaikan oleh guru madrasah di bawah pengawasan Kemenag.

Berdasarkan penelitian Kemenag, kata dia, materi agama di madrasah lebih moderat dibandingkan di lembaga pendidikan lain. Alasannya, di madrasah sedari awal siswa sudah diajarkan mengenai materi Islam yang moderat secara berjenjang dan berkelanjutan.

Sementara itu, dia mengatakan di sekolah umum justru tumbuh kegiatan rohaniawan Islam (rohis) yang terkadang tidak mengajarkan soal Islam Indonesia yang moderat. Terdapat materi-materi paham yang cenderung tidak sesuai dengan Islam Indonesia, bahkan tidak sejalan dengan falsafah negara.

Di tengah semangat siswa untuk mencari ilmu agama yang kurang di jam pelajaran reguler, kata dia, terkadang mereka mencarinya lewat kegiatan rohis. Hanya saja terkadang kegiatan rohis itu belum terjamin mengajarkan mengenai Islam moderat.

Parahnya, menurut dia, justru siswa sekolah umum yang sedang ingin mencari tentang ke-Islaman justru terjebak dalam dunia rohis dengan mentor dari kalangan dengan paham yang tidak sesuai Islam moderat. Meski tidak seluruh kegiatan rohis demikian, tetapi kecenderungan itu ada.

Dia mengatakan pengawasan terhadap rohis yang menyimpang itu tergolong sulit dilakukan Kemenag karena kementerian tidak memiliki wewenang mencampuri internal sekolah, kecuali oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Hal itu, kata dia, berbeda dengan pengawasan di madrasah yang dilakukan langsung oleh Kementerian Agama.

"Kalau sekolah sulit karena rumahnya beda, maka dari itu butuh tanggung jawab dari Kemendikbud juga gitu. Kami ada koordinasi juga terus menerus Kemenag dan Kemendikbud dalam hal ini," kata dia.



Rohis Disorot


Kepala Balitbang Diklat Kemenag Abdurrahman Mas`ud mengatakan tidak ada yang salah dengan kegiatan rohaniawan Islam di sekolah. Hanya saja, terkadang terjadi kurang pengawasan terhadap kegiatan rohis dan jika dibiarkan maka potensi fanatisme bahkan radikalisme atas nama agama bisa tumbuh subur.

Untuk mengatasi itu, Abdurrahman mengusulkan adanya penyaringan dengan baik dari sekolah dan pihak terkait terhadap rekrutmen mentor rohis. Jangan sampai mentor yang terlibat dalam rohis memiliki paham fanatik atau radikal sehingga meracuni pikiran siswa sehingga justru tidak sejalan dengan Islam moderat yang damai untuk alam semesta.

Atas potensi penyusupan paham yang tidak sesuai ke-Islaman Indonesia itu, dia mengatakan Balitbang Diklat Kemenag merekomendasikan agar ada penyuluh agama di bawah satuan kerja Kemenag untuk turut melakukan intervensi terhadap rohis ke sekolah-sekolah.

Mekanisme yang bisa dilakukan, kata dia, yaitu penyuluh dapat turut menjadi mentor memberikan pembinaan mengenai Islam Indonesia yang moderat terhadap rohis sehingga sekolah tetap melangsungkan kegiatan kerohaniannya tanpa mengajak kepada radikalisme.

Di lain pihak, kehadiran penyuluh keagamaan itu akan turut membantu menyaring mentor yang masuk ke rohis agar sesuai dengan visi Islam Indonesia.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017