Sebagian besar Kabupaten Pacitan, Jawa Timur merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian rata-rata 500-1.000 meter di atas permukaan laut.

Air permukaan mengalir melewati sejumlah sungai, salah satunya Sungai Grindulu yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang, menuju pantai-pantai di selatan Pacitan dan berakhir di Samudera Hindia.

Maka tak ada yang mengira jika hujan deras (pengaruh siklon tropis Cempaka) yang mengguyur Pacitan selama tiga hari tanpa jeda pada 27-29 November mengakibatkan banjir pada Rabu malam hingga menenggelamkan puluhan desa dan ibu kota kabupaten, termasuk situs arkeologi di Gua Song Terus yang berada di Desa Wareng.

Akibat bencana tersebut, 11 orang meninggal dan ribuan warga terpaksa mengungsi ke daerah-daerah yang lebih tinggi.

Hujan deras dan tanggul di Kota Pacitan yang jebol menambah volume air yang menerjang Pacitan. Puluhan hektare sawah dan kebun masyarakat berubah menjadi kolam lumpur dan merusak tanaman yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.

"Puluhan tahun hidup di Pacitan, belum pernah kena banjir," ujar Sitti, seorang warga di Dusun Weru.

Dia menceritakan bahwa air bah mulai menerjang desanya pada pukul enam sore. Air terus menerus mengalir dalam volume yang semakin membesar hingga sekitar jam 10 malam sampai setinggi sekitar dua meter.

"Kami langsung lari ke atas gunung di belakang rumah. Gak sempat bawa apa-apa. Semalaman cuma lihat air dan air sampai besok pagi," kenang Sitti yang rumahnya dilanda banjir.

Sementara itu, seorang warga desa lainnya, Katiman mengatakan sebelum banjir bertambah tinggi dirinya beserta keluarga masih sempat membawa seekor sapi miliknya ke atas gunung.

Berbenah
Banjir yang melanda Pacitan sempat memutuskan beberapa ruas jalan yang menghubungkan kabupaten tersebut dengan daerah tetangganya, seperti Ponorogo, Jatim dan Wonogiri, Jawa Tengah.

Banjir bandang yang membawa lumpur dan bebatuan juga merusak jalan-jalan antardesa dan fasilitas penerangan di sepajang jalan, serta merubuhkan rumah-rumah warga.

Hujan deras di Pacitan mulai berhenti sejak Sabtu (30/11). Banjir mulai menyusut dan meninggalkan endapan lumpur tebal di sepanjang jalan dan pekarangan rumah warga.

Di Dusun Weru, Desa Wareng, Kecamatan Punung, masyarakat mulai membersihkan rumah-rumah dan ladang yang selama berhari-hari terendam banjir, mengumpulkan barang-barang yang masih layak digunakan, menjemur pakaian, kasur serta peralatan rumah tangga lainnya di bawah matahari yang mulai bersinar terik.

"Sebenarnya ini masih trauma. Airnya tinggi sekali sampai mau nutup atap rumah," ujar Erna Suratun sambil menumpuk batang-batang kayu yang tersapu banjir hingga menutup pekarangan rumahnya.

Para warga bergotong royong membersihkan lumpur dengan cara memompa air dari sisa-sisa air bah yang menggenangi ladang-ladang dan dengan berbagai peralatan seadanya membersihkan jalan-jalan kampung dari endapan lumpur dan sampah.

Meskipun lumpur masih menumpuk di mana-mana, sejumlah anak bersemangat berangkat ke sekolah dengan seragam yang rapih dan bersih.

"Hari ini ulangan di sekolah, jadi anak-anak harus masuk, tidak diliburkan," ujar Rasiti, seorang warga yang harus menggendong dua anaknya ke sekolah untuk menghindari lumpur. "Motor nggak bisa jalan, jadi harus jalan kaki," tambahnya.

Sementara itu, warga lainnya tengah menunggu posko bantuan di salah satu persimpangan jalan.

Menurut salah satu petugas pos bantuan bencana, Suroto, bantuan berupa pakaian, bahan makanan dan obat-obatan datang dari berbagai pihak seperti warga dari dusun yang tidak tertimpa bencana, mahasiswa dari Kediri, komunitas pengendara sepeda motor, dan pemerintah setempat.

Dari pos tersebut bantuan diteruskan kepada masyarakat sekitar. Warga juga mulai memperbaiki rumah yang rusak dan sedikit demi sedikit mengumpulkan bahan-bahan bangunan untuk membangun kembali rumah mereka yang tersapu banjir.

"Alhamdulillah bantuan datang dari mana-mana. Makanan dan pakaian cukup untuk warga yang tertimpa musibah," ucap Kepala Desa Wareng, Purwo Widodo.

Namun, yang cukup memprihatinkan adalah rusaknya puluhan hektare sawah dan kebun masyarakat kampung yang rusak oleh air bah.

"Memperbaiki rumah dan membangun kembali rumah serta sawah dan kebun menjadi prioritas warga desa," imbuh Kepala Desa tesebut.

Menurut dia, 99 persen warga desa yang termasuk ke dalam kelurahannya merupakan petani yang penghasilannya hanya bertumpu pada hasil pertanian.

"Sawah dan kebun warga yang terendam disiapkan untuk makan setahun. Kalau semua habis seperti ini warga tidak punya bahan makanan," jelas Purwo.

Dia berharap ada bantuan, terutama dari pemerintah, bagi warga untuk menggarap kembali lahan pertanian mereka yang rusak.

Walaupun bencana banjir di Pacitan pada akhir November 2017 cukup mengagetkan banyak orang, mengingat morfologi daerah ini yang sebagian besar merupakan pegunungan, musibah serupa pernah terjadi pada Maret 1966.

Banjir pada 51 tahun yang lalu tersebut terjadi menyusul hujan deras yang terus turun tanpa henti selama beberapa hari hingga menenggelamkan rumah warga dan merusak banyak lahan pertanian dan infrastruktur jalan.

Sembari mengumpulkan kembali harta benda yang terhanyut banjir, warga desa di Kabupaten Pacitan juga menguatkan keyakinan bahwa segala musibah yang menimpa mereka adalah ujian sekaligus peringatan agar lebih dekat kepada Sang Maha Kuasa.

Pewarta: Libertina W. Ambari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017