Jakarta (ANTARA News) - Titiek Puspa mengaku lebih mengandalkan apa yang dia lihat dan rasakan untuk menghasilkan suatu karya musik. 


"Buat saya, lagu itu apa yang saya lihat dan saya rasakan. Kalau nyari-nyari (inspirasi) malah sulit," kata dia di Jakarta, Senin (4/12) sore. 

Dua kemampuan inilah yang juga menjadi cikal bakal lahirnya lagu-lagu dansa khas Titiek Puspa yang sempat menjadi hits di zamannya, sebut saja "Marilah Kemari" dan "Dansa Yo Dansa". 

"Kebanyakan musik dansa dari luar negeri kabeh. Yang di sini kok enggak ada. Indonesia semua mellow. Tahun 1980, 1970-an, itu juga mellow kabeh lagunya. Jadi aku ingin ada lagu yang kalau dia perform orang-orang dansa, seperti saya membuat "Marilah Kemari"," tutur Titiek. 

Rupanya kemampuan Titiek menciptakan lagu dansa dilirik perusahaan rekaman tetangga. Mereka lantas meminta perempuan kelahiran November itu menelurkan karya untuk penyanyi Eusi Darliah. 

"Aku diminta salah satu perusahaan membuat lagu untuk Eusi Darliah, jadi "Apa-Apanya Dong". Saya orang tidak suka sedih. Saya sukanya senang," kata dia. 

Tak hanya piawai mencipta lagu dansa, Titiek juga mumpuni menghasilkan genre lagu lainnya, sebut saja lagu "Kupu-Kupu Malam" dan lagi-lagi populer di zamannya. Lagu ini belakangan bahkan kembali dibawakan band Peterpan. 

Titiek berkisah, ide pembuatan lagu ini berawal dari kisah nyata seorang perempuan yang terpaksa menjual tubuhnya ke tangan lelaki-lelaki karena kesulitan ekonomi.

"Dia ditinggal suaminya. Karena dia tidak bisa mencari uang, dia banyak hutang, tak bisa dibayar, dia disuruh membayar dengan badannya. Akhirnya dia ketemu saya, dia menangis dan bilang 'itu bukan pekerjaan saya. Saya sangat terhina'. Lalu saya tanya, 'Apa maumu?' dia bilang 'saya ingin mempunyai suami yang mencintai saya'," papar Titiek. 

Usai sang perempuan mengadu, ide-ide mengalir di benak Titiek dan terciptalah lagu "Kupu-Kupu Malam". 

Memasuki usia 80 tahun, Titiek tak berhenti berkarya. Belum lama ini, dia bahkan menciptakan lagu bertema bela negara. 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017